Lihat ke Halaman Asli

Soxplore.UjungKulon

Kelompok KKL Pendidikan Sosiologi UPI 2020

Perpaduan Harmonis Antara Mistisme, Kesenian, dan Solidaritas Sosial Melalui Tradisi Ngabubur Suro

Diperbarui: 1 Agustus 2023   21:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Pribadi

Masyarakat Kabupaten Sumedang khususnya masyarakat di Kecamatan Rancakalong tentu mengenal tradisi unik bernama "Ngabubur Suro" yang pada pelaksanaanya diiringi dengan kesenian tradisional bernama "Tarawangsa". Dalam bahasa Sunda, nama "Ngabubur Suro" diambil dari dua suku kata yakni "Ngabubur" yang berarti membuat bubur, dan "Suro" yang merujuk kepada bulan Suro (Syu'ra) dalam penanggalan jawa. 

Masyarakat sekitar biasa merayakan tradisi tersebut pada tanggal 10 Muharram atau bertepatan dengan hari Asyu'ra. Perayaan ini digelar selama 2 hari 1 malam disetiap tahunnya. Sebagai warisan budaya, tradisi ini dilatarbelakangi oleh kepercayaan masyarakat yang berkaitan dengan peristiwa sejarah banjir besar Nabi Nuh A.S di masa lampau.

Dokumentasi Pribadi

Dalam pelaksanaannya, tradisi Ngabubur Suro turut dimeriahkan dengan lantunan dari keseian tradisional Tarawangsa dan Jentreng yang dimainkan oleh 2 orang pemain alat musik. Kesenian ini diiringi dengan tarian yang dilakukan selama semalam suntuk oleh warga desa. Tidak ada batasan usia dan jenis kelamin dalam tarian tersebut hanya saja terdapat suatu pantangan yakni wanita yang sedang menstruasi dilarang untuk ikut menari. 

Adapun menurut penuturan para sesepuh Desa Pasir Biru, Rancakalong, Tarawangsa merupakan sebuah instrumen yang dimainkan dengan tujuan mensyukuri hasil panen warga dimana mayoritas masyarakat Rancakalong bermata pencaharian sebagai petani padi. Kesenian ini bernuansa magis karena dalam prosesinya terdapat mantra dan sajen yang harus dipersiapkan sebelum melakukan tarian.

Dokumentasi Pribadi

Menurut penuturan Abah Mamat (28/07/23) selaku sesepuh di Desa Pasir Biru, Kecamatan Rancakalong, tradisi ini diturunkan oleh para leluhur yang kemudian dilestarikan oleh anak cicitnya hingga saat ini. Beliau juga menuturkan bahwa terdapat nilai-nilai historis dan filosofis yang terkandung dalam tradisi Ngabubur Suro. Salah satu nilai historis yang dapat digali melalui wawancara dengan Abah Mamat adalah kisah sejarah banjir besar yang terjadi pada zaman Nabi Nuh A.S. 

Dalam penuturannya, beliau menceritakan pada zaman dahulu ketika Nabi Nuh dan Umatnya sedang berada dalam kondisi sulit dimana cadangan makanan mulai menipis sedangkan terdapat tuntutan untuk tetap melanjutkan hidup di bahtera. Kondisi tersebut memaksa mereka untuk mengumpulkan biji-bijian, umbi-umbian, buah-buahan, dan juga tanaman sebanyak 1000 macam untuk kemudian dimasak secara bersamaan dalam kuali sehingga jadilah bubur. Kisah tersebut kemudian diadaptasi melalui proses akulturasi antara kebudayaan islam mataram dan masyarakat adat sunda sehingga terciptalah tradisi Ngabubur Suro di Rancakalong.

Dokumentasi Pribadi

Selain dari nilai historis dan filosofis, tradisi ini kemudian melahirkan nilai sosialis yang terkandung di dalamnya. Hal demikian tercermin melalui sikap gotong royong masyarakat Pasir Biru dalam mempersiapkan acara, mulai dari menyumbang hasil tani, ikut terlibat dalam prosesi tradisi, hingga berkontribusi dalam prosesi mengaduk bubur. Melalui wawancara dengan bapak Dadan selaku Kepala Desa Pasir Biru pada (28/07/23), keterlibatan masyarakat desa Pasir Biru dirasa sangat terasa solid. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline