Lihat ke Halaman Asli

Dhanang DhaVe

TERVERIFIKASI

www.dhave.id

Renjana Akik Kala Senja di Manado Tua

Diperbarui: 3 Juli 2015   15:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Baiklah deal 200 ribu," kata Pak Budi rekan saya saat perjalanan ke Sulawesi Utara. Sebuah batu akik dia tebus dari seorang pengunjung masjid agung di Manado. Tawar-menawar sengit terjadi dan akhirnya transaksi terjadi walaupun sebelumnya sempat ada kesepakatan "sebaiknya tidak di pelataran masjid". Saya yang tak mengerti seluk-beluk tentang dunia perbatuan hanya bisa sepakat saat melihat 2 orang berbahagia dengan butiran-butiran batu yang sudah diasah mengkilap. Batu akik yang menggila kadang menawarkan duka setelahnya sebab dia berkata, "Mas jangan bilang-bilang istri saya ya...?"

Lain cerita yang mungkin bisa berujung saya masuk bui karena dipolisikan. Sebuah batu hitam mengkilat terletak di ujung kamar samping pintu. Memang saat itu saya sedang menginap di mess perusahaan tambang di Sulawesi Utara. Pikiran saya langsung menjurus bahwa ini batu berharga karena di lokasi tambang. Entah batu itu jenis ruby merah delima, black safir star blue whaite, zamrud emerad, diamond berlian, akik agate, kecubung amethyist, pancawarna, sulaiman madu, saya tidak tahu. Yang saya tahu batu itu digunakan untuk ganjal pintu kamar. Singkat kata, batu itu saya bawa pulang dan untuk dijadikan buah tangan buat seorang teman yang gila akik.

Batu yang tidak jelas asal-usulnya kemudian dibawa ke pengrajin batu akik, lalu dipotong menjadi beberapa bagian. Akhirnya ganjal pintu itu menjadi perhiasan untuk jari-jemari beberapa anggota Polri. Dalam hati, merasa bangga karena barang kurang berharga yang tergeletak di balik pintu sebagai penahan kini menjadi sesuatu yang mendatangkan pujian. Akhirnya berlalu juga kenangan batu "ganjel lawang".

Rasa penasaran akhirnya berdatangan juga, sebenarnya apa yang berharga dari sebongkah batu pengganjal pintu. Di pantai boulevard di Manado senja itu saya berdiri memandang langit sisi barat. Pelahan-lahan sang surya kembali ke peraduannya. Gunung Manado Tua dan Pulau Bunaken mengapit matahari yang sudah mulai meredup dan sinarnya yang mulai merona. Duduk di atas bongkahan-bongkahan batu besar. Sejenak saya melihat batu-batu besar yang diletakkan di tepi pantai sebagai penahan abrasi.

Terhenyak begitu melihat struktur batu-batu besar di sepanjang pantai boulevard. Hitam kelam, ada sisi yang mengkilat, halus dan beberapa sisi ada rongga. Teman saya mengatakan bahwa batuan tersebut adalah batuan beku yang terbentuk dari magma yang membeku. Saya teringat jenis batuan ini banya ditemukan di tepi-tepi jalan yang hendak diaspal dan di pojokan pintu mess tambang. Sesaat kemudian senyum pun terkembang ada batu di tepi jalan yang jadi perhiasan.

Saat kaki masih di pantai boulevard dan sang surya sudah benar-benar tenggelam. Langit yang tadinya temaram kini sudah hitam kelam, tetapi di ujung pantai sisi kiri berdiri pohon terang. Ini pertengahan tahun, mengapa masih ada pohon natal? Menurut warga Manado, pohon terang tersebut bukanlah pohon natal tetapi simbol perdamaian. Mayoritas penduduknya yang kristiani tetap menjaga kerukunan dengan pemeluk agama lain, sehingga disimbolkan dengan pohon terang. Dalam benak saya ada yang harus didamaikan, apakah istri yang akan mengomel saat tahu suaminya membeli batu akik, atau polisi yang menggerutu gegara batu ganjal pintu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline