Bakar batu adalah prosesi kuliner tertua bagi masyarakat suku Dani Papua yang tinggal di pegunungan. Mereka adalah ras austronelanesia yang pertama datang di Tanah Nusantara dan kini menetap di kawasan timur Indonesia.
Saya teringat tahun 2014 saat mengunjungi Kabupaten Wamena. Di Desa Kilise, saya melihat secara langsung upacara bakar batu. Bakar batu memiliki makna spiritual bagi masyarakat di sana. Bakar batu tak sekedar upacara, tetapi juga pesta.
5 Februari, diperingati sebagai hari pekabaran injil di Tanah Papua, dan tahun ini yang ke 170. Mahasiswa UKSW asal Papua yang tinggal di Salatiga ngadakan tradisi untuk mengenang perjalanan misionaris masuk ke tanah Papua.
Persiapan bakar batu (dok.pri)
Kayu kering ditata, lalu batu diletakan di atasnya, lalu ditumpuk kayu, dan batu lalu ditutup kayu. Batu dipanaskan dengan bara api dari kayu. Hampir 30 menit kayu membara dan batu memerah.
Di sisi lain, mahasiswa wanita menata daun pisang di lubang melingkar pada tanah. Batu panas diletakan didasar lubang lalu diselubungi dengan dedauan sebagai alas. Daun pisang di alasi dengan daun ubi jalar, lalu di letakan ubi jalar, sayuran, dan ditutup dengan daun.
Prosesi pemotongan babi (dok.pri).
Babi yang sebelumnya dimatikan, dibelah dan diambil isi perutnya, lalu dibersihkan. Babi yang sudah dibelak lalu diletakan diatas tumpukan dedauan dan ditutup kembali dengan daun pisang. Batu-batu panas diletakan mengelilingi tumpukan ubi, sayur, dan babi. Di atas tumpukan ditindih dengan batu panas lalu ditutup dengan dedaunan. Proses pemasakan dan pematangan ini berlangsung 2 jam.
Bakar batu sudah usai (dok.pri).
Waktu yang ditunggu datang. Perlahan-lahan, lapia demi lapis dibongkar. Aroma sedap disertai asap uap air membumbung diangkas. Ubi merekah, daun sudah terlihat empuk, dan babi sudah berubah bentuk menjadi daging matang.