Akulturasi budaya di Indonesia sangatlah kental sekali, salah satunya adalah masjid. Di beberapa tempat terdapat masjid dengan penggabungan budaya Jawa, Arab, dan China sebutlah masjid Cheng Ho. Masjid yang mirp bangunan klenteng dengan atap limas lengkap dengan kubahnya.
Masjid Cheng Ho hanya ada di daerah pesisir atau yang dulu pernah dilintasi oleh Laksamana Cheng Ho. Salatiga, yang jauh dari laut tentu saja berbeda. Namun, di sini ada masjid yang disebut dengan masjid klenteng.
Tepanya di jalan Abiyasa-Salatiga sebuah pintu gerbang gaya pecinan dengan dominasi warna merah, kuning, dan hjau tua. Samping kiri gerbang ada tulisan Allah, dan samping kanan Muhamad. Saat itu saya seperti terbawa ke masa lalu saat anak-anak bermain di halaman tempat ibadah. Saya berdiri terpaku di bawah gerbang Wisma Majlis Taklim Hidayatullah.
Klenteng adalah tempat ibadah bagi umat tri darma. Bagaimana bisa ada penggabungan nama 2 tempat ibadah, namun di Salatiga bisa. Banyak masyarakat yang menyebut masjid ini dengan masjid Klenteng, padahal nama aslinya adalah Wisma Majlis Taklim Hidayatullah, Hidayatulloh.
Tempat ini digagas oleh Kho Yu Che yang kemudian menjadi mualaf dan mengganti namanya menjadi Yusuf Hidayatullah. Pada tahun 2005 selepas menunaikan ibadah haji, Yusuf Hidayatullah mendirikan tempat ibadah ini dengan nuansa etnisnya yakni Tiong Hoa.
Bentuk bangunan yang unik dan tidak lazim untuk sebuah masjid pada umumnya, maka masyarakat sekitar menyebutnya dengan masjid klenteng. Bangunan dengan dominasi warna merah, kuning, dan hijau tua dan ornamen lampion memang identik dengan klenteng.
Kali ini tempat ibadah ini sudah berpindah tangan, dan sedang dalam proses wakaf. Ke depannya masjid klenteng akan digunakan sebagai sekolah wiraswasta bagi anak-anak muda secara cuma-cuma selama 4 bulan. Selama menempuh pelatihan anak-anak ini akan tinggal di asrama lalu akan mendapatkan pelatihan setiap harinya. Masjid ini juga dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan keagamaan, budaya, hingga pengobatan gratis.
Dalam kesempatan kunjungan ke sana saya bertemu dengan beberapa orang yang sholat di sana. "Mas kotak amalnya dimana?" tanya salah satu orang yang habis sholat ashar. Pak Agus Ahmad yang mengelola masjid dan kebetulan sedang saya wawancarai menjawab "tidak ada pak".
Pertanyaan saya menggelitik "pak, kotak amal kan ladang orang bersedekah dan menanam pahala?". Di jawab "Mencari pahala dan bersedekah banyak caranya mas, saya belum mau memasang kotak amal karena takut nanti ada yang salah mengartikan, sebelum status masjid ini sah menjadi wakaf".
Saya tersenyum, karena di masyarakat Salatiga sedang muncuk polemik tentang masjid ini. Intinya masjid ini sudah dipindah tangankan, sudah dibayar lunas, sedang dalam proses pengurusan untuk menjadi wakaf. "Tidak sholat mas..?", "saya nasrani pak" dia menarik nafas panjang "terimakasih banyak sudak mengenalkan masjid klenteng ini ke masyarakat lemah-lemah teles mas".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H