Dahulu, ada 3 emas yang ada di Lasem yakni; candu, batik, dan garam. tiga barang dagangan tersebutlah yang menjadikan kota ini hidup. Kini, candu telah lenyap, batik juga senyap, dan garam juga suram. Hari ini saya berada di jalan Pantura Rembang untuk mencicip rasa garam tersebut.
Putaran kincir angin nampak begitu malas, di bawah teriknya matahari. Suara gesekan as roda nampak juga tak bersemangat dan terkesan telah letih. Air laut yang dialirkan melalui kanal-kanal kecil menuju area tambak yang mirip dengan persawahan juga begitu tak bergairah.
Dengan bantuan angin, maka akan menggerakan kincir lalu memutar roda as yang dihubungkan dengan engkol yang berujung mirip dengan gayung. Perlahan-lahan air laut dipindahkan ke lahan tambak. Dikit demi sedikit permukaan tambak akan penuh dengan air laut.
Matahari akan menguapkan permukaan tambak dan pelan-pelan akan terlihat kristal-kristal mineral garam. Pak Trimo siang itu, dengan alam mirip dengan garu mendorong lapisan-lapisan garam hingga membentuk bukit-bukit kecil.
Dengan sekop dia memindahkan ke dalam bak kereta dorong. Kedua tangannga memegang stang kereta tersebut lalu dengan keseimbangan tinggi dia lewat di pematang tambak menuju rumah garam. Di dalam rumah tersebut, ditimbunlah garam dengan berbagai kualitas, yakni 1,2, dan 3.
Lantas saya bertanya, apa yang membedakan kualitas garam tersebut? "Garam kualitas 1 adalah panenan pertama pada tambak, jadi dia masih murni dan warnanya putih, sedangkan kualitas kedua adalah panenan berikutnya, demikian kualitas 3". Saya mengangguk pelan mendengan suara paraunya.
Di bawah rumah garam berdinding anyaman bambu saya menemani Pak Trimo yang sejenak melepas lelah. Dia berkisah, jika dia hanyalan buruh tambak garam. Tambak garam ini adalah milik bosnya orang Lasem yang tinggal di Solo. Dia hanya bertugas memanen dan mengumpulkan garam.
Banyak yang dia ceritakan, tentang tambak garam di sini. Dulu boleh dia jumawa saat harga garam tinggi, tembus di atas seribu rupiah bahkan lebih perkilonya. Saat ini dia mulai putus harapan. "Kemarin kita agak senang, perkilonya 600 rupiah, sekarang anjlok sampe 300 rupiah, bahkan ada yang melepas dengan 150 rupiah".
Cerita pak Trimo, membuah saya penasaran mengapa demikian. "Mas, garam itu ladang bisnis, siapa tidak butuh garam. Ada cerita katanya garam impor lebih bagus dan murah. Belum lagi monopoli garam. Itulah yang membuat kami sebagai buruh tambak garam makin sengsara".
Saya diam, nanar sembari melihat hamparan ladang garam yang luas dengan kristal-kristal putih di atasnya. Saya melangkah ke ujung rumah garam "pak mana kualitas garam nomer 1 ?" tanya saya. "Yang pojok dan paling putih mas". Saya mendekati lalu menyentuh garam tersebut dengan ujung jari, saya jilat "tak asin lagi".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI