Sungai kering dan nyaris tidak ada airnya ternyata masih menyimpan asa. Nusa Tenggara Timur pagi itu memberikan pelajaran berharga bagi saya. Beberapa bocah dengan batok kelapa menggali pasir sungai sedalam 50 - 100 cm untuk membuat sumur dangkal.
Air yang terjebak dalam pasir di dasar sungai akan mereka tampung dalam lubang yang mereka buat. Rembesan air yang pelan mereka nanti menjadi air kehidupan buat warga di sana.
Pulau yang kering
Nusa Tenggara Timur, khususnya pulau Timor di mana kaki saya berpijak saat itu membuat saya terpana. Luasnya savana yang menjadi cokelat sangat indah dipandang saat fajar atau senja, namun sangat semu saat siang terik matahari. Indah hanya dari bidikan lensa saat waktu yang tepat, padahal di balik itu hanyalah kekeringan.
Musim kemarau selama 9 bulan dan hujan yang hanya 3 bulan membuat pulau itu nampak tandus, terlebih adalah kawasan kars. Batuan gamping yang tidak bisa menyimpan air dan tidak memberikan kesuburun, masih memberikan asa bagi mereka yang tetap tinggal di atasnya.
Bocah Pencari Air
Pagi itu sebelum berangkat sekolah, Maria yan masuh duduk di bangku SD bersama temannya mendorong gerobak berisi hampir 40 jeriken air. Sebuah kewajiban bagi mereka untuk mengambil air di sungai guna kebutuhan keluarga dan hewan ternaknya. Saat usia mereka yang harusnya bermain, namun tidak bagi mereka.
Jeriken itu dibawa ke tepi sungai. Satu persatu diturunkan lalu diantrekan. Di depan mereka masih ada puluhan jerikan yang belum diisi. Bisa saja mereka langsung mengisi, tetapi harus membuat lubang sendiri.
Sembari bercengkrama mereka menunggu giliran untuk mengisi jerikan. Maria dan temannya tidak sendirian, banyak sepantaran mereka yang melakukan kegiatan bersama.
Mereka berpacu dengan waktu. Di belakang mereka sudah mengantre jeriken yang harus diisi nan jauh di sana, lonceng sekolah siap memanggil mereka untuk segera masuk kelas. Lantas saya bertanya "Kalian tidak mandi saat pergi ke sekolah..?" Hanya gelengan kepala. Jangankan mandi, air di sini sangatlah terbatas.
Kisah pilu tadi pagi segera saya biarkan berlalu. Batin saya pedih, karena saya waktu itu tinggal agak lama di sana. Namun saya beruntung tinggal di daerah yang airnya masih mudah ditemui, sehingga mandi dua kali sehari tidaklah masalah.
Masyarakat yang Adaptif
Menjelang petang saya mencoba menyambangi desa mereka. Saya disuguhi segelas kopi manis dan ubi kapur. Saya membayangkan, air kopinya ini sangatlah istimewa, betapa tidak. Untuk membuat kopi perlu air yang diambil dengan susah payah. Sambil berkisah tentang air, mereka sudah terbiasa.
"Mas dari kami lahir, bahkan nenek moyang kami ada, sumber air su jauh dan kami masih bisa hidup, makan, minum dan tidak kekurangan. Lantas buat apa kami khawatir. Alam menyediakan air, tinggal kita mau ambil kah tidak".
Saya diam dan berpikir, ah bagaimana jika di alirkan dengan pipa lalu dididstribusikan ke rumah-rumah. "Ngimpi, mau disedot pakai apa, pompa? listrik saja tidak ada," senandika saya.
Namun di balik kisah itu ada sisi positif yang diajarkan orang tua pada anak-anak akan arti kerja keras dan tanggung jawab. Mereka hanya dibebankan untuk mengambil air, dan itu adalah bagian dari kehidupan mereka.