Malam itu kabut tebal menyelimuti dusun Anggrunggondok yang berketinggian 1246 MDPL dan terletak di lereng Tenggara Gunung Sindoro. Rinau hujan membasahi jaket yang membalut tubuh dari terpaan hawa dingin.
Hampir tengah malam, kami bergegas untuk menuju rumah manta kepada Desa Reco, dan malam ini kami menginap di sana. Di dalam kantung tidur, imaji saya menembus kaca yang berembun "ada kisah cinta Syahroni dan Rini", ternyata hanya mimpi.
Pagi merekah, selepas subuh dikumandangkan saya ambil kamera yang bertali sandang. Saya melangkah di pagi buta untuk menjemput sang surya. Berharap ada momen indah untuk diabadikan. Berjalan mengarah ke jalur pendakian Gunung Sindoro, saya serasa bernostalgia 20 tahun yang lalu saat pertama kali mendaki gunung ini.
Embun tipis menyelimuti rumput-rumput kecil yang tumbuh di sela-sela batu makadam. Dinding sepatu saya basah dan beberapa sisi saya merasakan dingin di jemari kaki. Saya melangkahkan kaki dan sampailah pada bukit tertinggi di Dusun Anggrungondok. Dari sini saya bisa memandang ke seluruh penjuru mata angin.
Di belakang saya nampak Gunung Sindoro 3150 MDPL yang bagian tengahnya masih bersambuk kabut tebal. Di depan saya berdiri kokoh Gunung Sumbing 3339 MDPL. Di Lereng Sumbing nampak lapisan-lapisan kabut tipis memisahkan sela-sela dusun Mungin yang nampak indah. Kubah masjid menjulang kontras nampak megah di sela-sela rumah yang rerata berlantai 2.
Tegur sapa dengan penduduk yang berangkat ke ladang menghangatkan pagi ini. Kadang saya tersenyum simpul pada saat saya menyapa memakain bahasa krama inggil, mereka menjawabnya dengan bahasa Indonesia. Sepertinya ada yang aneh dan mengapa demikian.
Saya teringat suatu waktu naik kereta api Kaligung jurusan Semarang-Tegal. Dari Stasiun Poncol Semarang penumpang riuh dan duduk saling berhadapan.
Sesekali ada obrolan dan kebanyakan memakai bahasa Indonesia terutama untuk anak muda. Selepas Stasiun Kendal, barulah transformasi bahasa beralih. Anak muda menyetel mode bilingual aksen bahasanya. Sebelumnya memakai bahasa Indonesia, kini sudah beralih bahasa Jawa dengan logat tegal (ngapak-ngapak). Komunitas mereka semakin mengental seiring turunnya penumpang. Begitu dari Pekalongan sampai Tegal, semua menjadi republik Ngapak, beguitu sebaliknya saat pulang.
Masyarakat di Anggrunggondok tak ubahnya dengan penumpang Kaligung. Mereka akan memakai bahasanya dengan orang atau yang sekomunitas. Saya memaklumi perubahan bahasa ini. Saya sebenarnya ingin mereka memakai bahasa Penginyongan, namun mereka lebih nyaman memakai bahasa Indonesia dalam menjawab. Mungkin saya yang harus beradaptasi memakai aksen mereka.
Kaki saya kembali melangkahkan kaki. Saya menuju jalan perkampungan dengan perumahan yang padat. Percaya tidak percaya, ini adalah perkampungan persaudaraan. Hampir semua warga mengenal satu dengan yang lainnya. Bagaimana tidak, perkawinan terjadi kadang hanya sebatas tetangga (peknggo-ngepek tonggo). Justru dengan perkawinan ini semakin merekatkan ikatan persaudaraan antar warga untuk hidup bersama.
Saya teringat akan sebuah film, dan mungkin bisa anda lihat. Preman in Love, yang dibintangi oleh Tora Sudiro, Didik Nini Thowok, Marwoto, Vincent R dan lain sebagainya. Film yang bersetting di perkampungan Lereng Sindoro Sumbing lengkap dengan budayanya menggambarkan kisah percintaan yang dibumbui dengan pemilihan kepala desa dan kepercayaan akan lelaki spiritual. Saya terbawa oleh romansa Syahroni dan Rini di dusun ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H