Penonton karnaval nampak tertawa terpingkal manakala ada tentara yang gagal melepaskan tembakannya gegara pematiknya mati tidak berfungsi, meskipun sudah coba berkali-kali. Ada juga yang histeris manakala pedagang pakaian, sayur, dan buah melemparkan barang dagangannya ke arah penonton. Secara special, walikota mendapat kerupuk berukuran satu kantong besar. Sisi lain ada yang mengernyitkan dahu saat ada etnis Papua sedang membusurkan panahnya kepada etnis Sumba yang sigap dengan parangnya. Salatiga, kota kecil di pinggang Gunung Merbabu kembali menghibur wargannya dalam karnaval budaya.
Pagi hari, seperti biasanya saya berlari pagi di sepanjang jalan protokol Salatiga. Biasa yang sanya temui adalah pegawai pemkot yang berseragam merah muda lengkap dengan sapu, cikrak, dan sepeda motor dengan bak terbuka, namun pagi ini meraka seolah lenyap ditelan kabut pagi. Daun-daun Mahoni (Sweetina mahagoni), Ketapang (Terminalia catappa) yang meranggas berguguran di sepanjang trotoar. Sebuah fenomena alami saat musim panas tiba, tetapi akan menjadi tambahan pekerjaan bagi petugas kebersihan.
Mungkin saja ini hari minggu, sehingga pasukan oranye tersebut libur. Bisa saja, guman saya sambil melanjutkan lari paginya. Siang yang terik kembali saya melangkahkan kaki, dan daun-daun kering masih banyak yang bertebaran dan sepertinya hari ini memang tidak dibersihkan, ada apa gerangan?
Duduk di depan panggung kehormatan yang di atasnya berisikan pejabat tinggi Kota Salatiga; walikota, wakil walikota, dandim, wakapolres dan lain-lain. Mereka mendapat panggung untuk menyaksikan perhelatan karnaval budaya Kota Salatiga yang diikuti lebih dari 50 group karnval.
Seolah saya tidak mempercayai ada 50 kelompok untuk sebuah kota kecil dengan 4 kecamatan, berbeda jika itu di Kabupaten Semarang atau Provinsi. Saya baru tersadar jika kelompok tersebut dari beragam instansi, sekolah, kelurahan, komunitas, bahkan RT dan RW juga ikut berpartisipasi. Tidak terbayangkan buka, sekelas RT atau RW bisa mengkoordinir warganya menjadi peserta karnaval.
"waktunya tinggal 1 menit lagi" begitu kata pembawa acara yang berdiri di samping panggung. Peserta karnaval hanya diberi waktu 3 menit untuk menampilkan aksinya didepan panggung kehormatan untuk dinilai. Saya tidak membayangkan, dengan durasi 180 detik harus menampilkan pertunjukan apa. Ada kelompok kuda lumping yang dipaksa menari 3 menit, begitu juga dengan drum blek belum selesai menyanyikan lagu sudah harus melanjutkan perjalanan. Begitu banyaknya kontestan, akhirnya hanya diberi waktu 2 menit, padahal latihannya sudah 2 bulan.
Beberapa peserta karnaval yang menarik adalah rombongan pedagang pasar Salatiga. Salatiga secara hitung-hitungan tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah, baik sector pertanian, perikanan, pertambangan, dan lain sebagainya. Kota yang hidup dengan penyedia layanan jasa menjadi pemasukan daerah yang cukup tinggi, salah satunya adalah pasar.
Sebagai ungkapan syukur pedagang yang telah diberikan tempat untuk mencari nafkah mereka membawa beragam barang dagangan dalam karnaval ini. Uniknya, secara spontanitas mereka membagikan apa yang mereka bawa pada penonton. Tidak urung, terjadilah pergulatan dalam memerebutkan barang yang diberikan para pedagang.
Saya teringat akan suku Badui yang ada di Banten. Secara rutin, setiap tahun mereka memberikan seserahan kepada pejabatnya. Mungkin tempo dulu itu yang namanya upeti yang tanpa dipaksakan. Saat ini upeti mungkin dalam bentuk retribusi, tetapi tidak ada salahnya rakyat memberikan sesuatu kepada pemimpinnya. Satu kantong plastik berukuran yang berisikan kerupuk diberikan kepada walikota dari para pedagang kerupuk, ada juga yang meberikan sayuran, makanan/jajan pasar. Meskipun hanya karnaval, kapan lagi mereka bisa memberikan kepada pimpinannya secara langsung dan diterima lalu dinikmati, rasa yang berbeda tentu saja.
Penampil-penampil dalam karnaval ini sepertinya tidak ingin melewatkan kesempatan, meskipun acapkali membosankan. Bagaimana tidak, perhelatan serupa dalam satu tahun ada 4 kali agenda dan penampilnya tidak jauh berbeda. Namun, antusias warga membuat patugas keamanan kewalahan karena penuh sesaknya. Tidak hanya warga Salatiga saja, tetapi mereka yang berdomisili di Kabupaten Semarang yang datang tidak kalah banyaknya. Salatiga kota mungil yang dikelilingi oleh luasnya Kabupaten Semarang.
Persiapan yang matang tidak jaminan akan sukses menampilkan atraksi. Kejadian tersebut terjadi saat rombongan tentara dari Dusun Klumpit menampilkan atraksinya yakni dengan mercon berbahan bakar alkohol. Ledakan yang dihasilkan dari semprotan spiritus yang dinyalakan dengan pematik api akan menimbulkan suara yang menggelegar. Mercon ini relative lebih aman dibanding dengan yang berbahan bakar minyak tanah atau karbit. Entah grogi atau bagaimana, tentara jadi-jadian ini beberapa kali gagal meletuskan meriamnya. Sorak penonton membuncah dengan gelak tawa. Tentara yang gagal sepertinya menikmati kegagalannya dengan tertawa. Begitu mereka berlalu baru terdengar "jegleeeer" momennya lewat.