Krompyang...!!! terdengar suara nyaring piring yang berbenturan dengan sendok. Terlihat sosok bersisik, berekor panjang, lindah menjulur, dan cakar yang panjang.
Seekor biawak besar merangsek naik ke meja makan untuk ikut bergabung menikmati sarapan bersama para tetamu yang sedang menikmati nasi hangat, telur dadar, dan barakuda goreng. Pagi yang indah di Pulau Biawak, dimana manusia dan biawak berinteraksi dalam harmoni, walau acapkali reptil ini bertingkah nakal.
Pagi menjelang pukul 03.00 kami sudah berada di kawasan nelayan di Karangsong-Indramayu, Jawa Barat. Sebuah kapal nelayan dengan 3 mesin berkekuatan 24 PK akan menyebrangkan kami dari Pulau Jawa ke Pualu Biawak. Jaket pelampung kami kenakan dan sebuah mesin dinyalakan oleh kapten Durohman. Perlahan perahu membelah kanal sungai Cimanuk Lawas yang di tepian kirinya nampak rimbun hutan bakau Karangsong.
Perlahan perahu sudah menembus muara sungai dan siap menuju laut lepas. Mesin nomer 2 dinyalakan untuk menambah tenaga kapal membelah ombak dari angina timur. Dua hari sebelumnya saya memelajari situs dari BMKG untuk melihat prediksi ketinggian gelombang laut.
Satu hari sebelumnya gelombang diperkirakan 0,5 -- 1 m, tetapi hari ini diperkiran tinggi gelombang mencapai 1,5 m. Benar saja, begitu sudah masuk laut lepas, gelombang laut mulau menghempas kapal.
Saya teringat 1 bulan yang lalu saat gagal menyeberang ke Pulau Biawak karena saat sampai tengah jalan, as kapal patah. Hampir 7 jam kami terombang-ambing tidak jelas , yang akhirnya dievakuasi oleh tug boat milik Pertamina. Total 15 jam kami mengarungi laut jawa dan pulang dengan kegagalan, dengan 10 kali muntah di laut. Rasa trauma masih terngiang-ngiang pagi ini manakala harus mengulang ekspedisi ini.
Fajar menyingsing dan kamis masih mengarungi lautan. Sesekali saya melihat GPS untuk memantau lokasi terakhir. Dalam GPS terlihat kecepatan pergerakan kapal kami 10 -- 12 km/jam. Untuk jarak tempuh 40 km menuju Pulau Biawak maka dibutukan waktu sekitar 4 jam. Pukul 06 matahari masih tersembunyi di balik mega mendung yang menggelayut di langit timur. Dari kejauhan nampak samar sebua titik kecil dan kapten Kapal mengatakan itu Pulau Biawak.
Gelombang masih saja menghajar kami dan tanpa disadari salah satu dari kami sudah mengeluarkan isi lambungnya. Kami yang menyaksikan kejadian itu segera mengalihkan perhatian daripada tertular ikut mabuk laut. Akhirnya mercusuar terlihat dan ujung dermaga semakin mendekat. Riang bukan kepalang, manakala mesin perahu semakin pelan dan artinya sebentar lagi kami merapat di Dermaga.
Selamat datang di Pulau Biawak, senyum lebar dari kami yang lolos dari keluarnya isi perut. Kami langsung disambut oleh mahluk-mahluk endemis di sini, biawak atau nama ilmiahnya Varanus salvattor. Beberapa ekor biawa sudah keluar dari persembunyiannya untuk menyambut kedatangan kami. Kami awalnya nampak kawatir dengan biawak-biawak berukuran besar jika menyerang kami karena kita masuk dalam area teritorinya.
Pak Saryono 35 th, atau yang biasa disebut Mas Jon datang dengan sapu lidi bergagang. Dia berusahan menghalau biawak-biawak sambil berkata "tenang, biawak-biawak disini sudah akrab dengan manusia dan tidak menggigit".
Mas Jon adalah pegawai dinas perhubungan yang ditugaskan menjaga mercusuar bersama 2 rekannya yakni, Pak Wahyu 37 th dan Pak Sakari 45 th, Mereka ditugaskan oleh kantor untuk tinggal di pulau ini selama 3 bulan baru digantikan oleh petugas lain.. Kegiatan mereka setiap hari adalah memastikan mercusuar tetap menyala pada malam hari, menyelaka listrik, melaporkan kondisi cuaca dengan radio HT, dan membersihkan pulau,