Buku yang berjudul Polychaetes karya Gregory Rouse dan Fredrik Pleijel mengingatkan saya akan tradisi orang-orang Austronesia. Mereka adalah masyarakat yang tersebar dari Madagaskar, Mikronesia, hingga Polinesia. Penyebutan Austronesia didasarkan akan kesamaan bahasa karena konon mereka berasal dari satu nenek moyang yang sama kemudian menyebar ke pulau-pulau di selatan China.
Ada sebuah tradisi orang-orang Austronesia, yakni bagi mereka yang tinggal di pesisi pantai adalah mengonsumsi cacing dari kelompok polichaeta.
Cacing kelompol polichaeta (Poly=banyak, chaeta=rambut) adalah jenis cacing yang biasa dikonsumsi oleh manusia. Cacing ini berukuran 5 mm hingga beberapa meter, bahkan ada yang melaporkan hingga 6 m dengan 1.500 segmen. Jenis hewan ini hidup di laut yang dangkal dan zona intertidal (daratan pantai) dengan perairan yang hangat.
Dalam taksonomi hewan, jenis cacing yang dimaksud masuk dalam suku anelida (annulus=cincin, oidos=bentuk) dan famili Eucidae. Ada 250 spesies yang sudah berhasil diidentifikasi dan salah satunya adalah cacing palolo (Indonesia) (Balolo:Fiji) (Eunice fucata). Eunice fucata adalah cacing dengan tubuh terdiri dari kepala, silinder, tubuh tersegmentasi dan sepotong ekor. Kepala terdiri dari prostomium (bagian mulut) dan peristomium (area sekitar mulut) dan membawa pelengkap berpasangan (palps, antena dan cirri ). Eunice fucata pertama kali secara ilmiah dijelaskan oleh Ehlers pada tahun 1887.
Cacing palolo ini sangat unik karena bisa berkembang biak dengan 2 macam cara. Reproduksi bisa dengan aseksual (fragemntasi) atau seksual (dengan gamet)/hermafrodit.
Menjelang musim kawin cacing-cacing tersebut akan muncul ke permukaan laut hanya dua-3 kali setahun. Pada bulan November - Desember, menjalang kuarter ke-3 pada bulan itu cacing ini akan berenang naik ke permukaan untuk untuk membebaskan gamet (kawin). Periode ini juga berlangsung pada bulan Juni-Juli. Pada waktu tersebut adalah pesta bagi orang-orang ke Kepulauan Fiji, Samoa, dan Salomon untuk menangkapnya. Mereka menggunakan cahaya pada malam hari.
Di Indonesia juga ada budaya menangkap cacing palolo, salah satunya di Nusa Tenggara Barat. Masyarakat di sini bisa menangkap cacing ini dengan sebuatan bau nyale. Berdasarkan isi sejarah dari sebuah babad, Bau Nyale mulai dikenal masyarakat dan diwariskan sejak sebelum abad 16. Bau Nyale berasal dari bahasa Sasak (Bau=menangkap) dan (Nyale=cacing laut).
Menurut kepercayaan masyarakat Lombok-NTB, nyale konon dikisahkan adalah jelmaan Putri Mandalika. Putri Mandalika adalah putri yang cantik dan baik budi pekertinya. Kecantikan dan kebaikannya inilah yang membuat banyak raja dan pangeran yang jatuh cinta kepadanya dan ingin menjadikannya sebagai permaisuri.
Putri Mandalika bingung dan tidak bisa menentukan pilihannya. Akhirnya ia tidak memilih salah satu dari mereka, ia takut akan terjadi peperangan. Putri Mandalika memilih mengorbankan dirinya dengan menceburkan dirinya ke laut dan berubah menjadi nyale yang berwarna-warni. Oleh sebab itu, masyarakat Lombok percaya bahwa nyale tidak hanya sekedar cacing laut biasa tetapi merupakan makhluk yang dipercaya dapat membawa kesejahteraan bagi yang menangkapnya.
Tradisi Bau Nyale dilakukan beberapa hari sesuai bulan purnama, yaitu pada hari ke-19 dan ke-20 bulan ke-10 dan ke-11 dalam penanggalan suku Sasak. Bau nyale saat ini jatuh pada bulan Februari pertengahan.
Masyarakat yang tinggal di Pualau Sumbawa ramai-ramai menuju dua pantai yang terdekat, yakni Pantai Maluk dan Tropical. Mereka beramai-ramai mengambil nyale atau caing laut yang keluar. Cacing-cacing ini bisanya berwarna cokelat dan hijau. Hasil tangkapan kemudian diolah sesuai dengan selera. Salah satu yang menjadi andalan menu nyale adalah lakir nyale (opor cacing laut). Bumbu lakir nyale antara lain; bawang merah, bawang putih, cabai, sereh, lengluas, kunyit, santan, merica, garam, dan jeruk.
Lakir nyale tidak hanya nikmat, tetapi mengandung nutrisi, yakni protein yang tinggi. Hati-hati buat mereka yang alergi protein tertentu. Tidak hanya nikmat yang dirasakan, tetapi ada cerita legenda, yakni tentang sebuah pengorban putri yang mementingkan kedamaian rakyatnya.
Selain itu, ada sejarah panjang karena mengonsumsi cacing laut juga dilakukan oleh masyarakat Austronesia, saperti di Fiji, Samoa, Salomon yang mengenalnya sebagai cacing balolo.