Dalam perjalanan menjelajahi sudut-sudut Pulau Timor saya seolah dibawa masuk ke dalam imajinasi hamparan alam liar Afrika. Bukan jerapah atau singa yang saya temui tetapi pohon raksasa baobab (Adansonia digitata) yang menjulang tinggi dengan buah-buahnya yang ranum. Saya tersadar ternyata itu bukan baobab tetapi gewang dan juga bukan Afrika tetapi muara sungai Oel Mina. Ada kisah menarik dengan pohon raksasa dari Pulau Timor yang bernama gewang. Tumbuhan yang mendapat cap negatif tetapi sebenarnya menjadi juru selamat saat paceklik datang.
Dalam pemberitaan di media masa pernah di tuliskan, Duhh 900 Warga TTS Makan Putak. Bagi sebagian warga Timor, putak adalah makanan bagi kaum papa yang tidak bisa menjangkau untuk membeli beras atau jagung. Putak biasanya diperuntukkan untuk pakan ternak seperti; babi atau sapi. Di saat ada warga makan putak, maka alhasil menjadi sebuah indikator kemiskinan atau paceklik.
Begitu juga dengan warga Jawa Tengah yang gagal panen terpaksa makan nasi jagung, atau warga Gunung Kidul dengan gaplek. Nasi jagung, gaplek, dan putak lebih identik dengan gagal panen, kemiskinan, dan kelaparan. Mengapa demikian? Karena 3 jenis makanan itu dikonsumsi pada saat masa paceklik. Memang benar, sepengalaman saya pernah merasakan masa paceklik disaat beras tidak terbeli terpaksa makan nasi jagung dan gaplek sebai pangan alternatif.
Putak adalah pati yang diambil dari pohoh gewang. Gewang atau gebang (Corypha gebanga) adalah nama sejenis palma tinggi besar dari daerah dataran rendah. Tumbuhan ini juga dikenal dengan nama-nama lain, seperti; gebang (Bahasa Indonesia), gabang (Dayak Ngaju), gewang (Timor), pucuk (Betawi), pocok (Madura), ibus (Batak, Sasak), silar (Minahasa) dan dalam Bahasa Inggris disebut gebang palm. Gebang banyak ditemukan menyebar luas mulai dari India melewati Asia Tenggara, Filipina dan Indonesia hingga ke Australia Utara. Di NTT dengan lahan keringnya, gewang sudah teradaptasi dengan baik sehingga tumbuh subur di sana.
Warga Timor sudah sejak dulu memanfaatkan gewang menjadi beragam keperluan. Daun gewang yang berbentuk kipas dimanfaatkan sebagai atap rumah. Suhu udara Pulau Timor yang panas akan terasa sejuk jika atap rumahnya ditutup dengan daun gewang dibandingkan dengan seng. Daun gewang yang masih kuncup juga dimanfaatkan sebagai anyaman dan tali, begitu juga dengan lidinya untuk sapu. Gewang juga bisa disadap kuncup bunganya untuk diambil niranya sebagai bahan baku pembuatan gula merah. Biji gewang juga bisa diambil minyaknya dan sekarang sudah ada pengepul yang menampungnya. Pelepah gewang dimanfaatkan sebagai dinding rumah, pagar, dan kayu bakar. Yang paling menarik adalah batang gewang yang bisa diambil patinya sebagai sumber makanan.
Keluarga palmae/kelapa memiliki cadangan makanan berupa polisakarida yang berwujud pati yang disimpan dalam batangnya. Di kawasan Indonesia Timur seperti Maluku dan Papua dikenal dengan budaya pangkur sagu. Pohon sagu (Metroxylon sagu), enau/aren (Arenga pinnata) menjadi pohon yang mampu menghasilkan sagu, begitu juga dengan gewang yang masih satu famili dengan mereka. Sagu sudah sangat familiar di telinga kita, namun putak sangat jarang terdengar bahkan menjadi bahan olokan karena merupakan pakan hewan ternak.
Perkembangan teknologi pangan dan kuliner sekarang sudah bisa menciptakan tiwul instant. Makanan berbahan dasar gaplek singkong kini sudah merambah supermarket. Dahulu tiwul atau gaplek adalah makanan paceklik dan tidak berbeda jauh dengan putak. Nasi jagung goreng juga menjadi tren di beberapa rumah makan dan banyak peminatnya. Gaplek dan nasi jagung sudah melewati masa transformasi dan merubah persepsi masyarakat dari makanan paceklik menjadi hidangan yang istimewa.
Putak seharunya mendapat tempat yang sama dan bisa sejajar dengan sagu. Secara kimiwai, penyusun putak sama dengan beras, jagung, gandum, singkong yakni polisakarida. Sekarang bagaimana mengubah persepsi masyarakat agar tidak memandang putak dengan pakan ternak dan kemiskinan.
Mungkin ada kesalahan persepsi budaya pangan, bahwa beras adalah makanan pokok orang Indonesia. Beras menjadi standar makanan pokok, hingga pemerintah mati-matian membuka sawah sejuta hektar dan impor beras sampai melabeli beras dengan kata miskin (raskin). Masyarakat lokal kita sudah memiliki budaya pangan masing-masing yang sudah mendarah daging, tetapi harus berganti dan distandarisasi dengan beras, padahal beberapa daerah sudah mengampanyekan makan singkong dan jagung.
Sepantasnya putak mendapat tempat yang tinggi karena merupakan warisan budaya nenek moyang dan sangat melimpah populasinya di Pulau Timor. Putak tak lagi harus dihujat gegara tidak sebanding dengan beras hanya karena perbedaan persepsi. Tantangan sekarang bagaimana mengubah putak yang melimpah ini menjadi bergengsi seperti tiwul instan yang sudah nangkring di etalase pasar swalayan. Padahal polisakarida yang ada di gewang bisa menjadi bahan, gula cair, etanol, enzim, antibiotika, glikosida dan beragam manfaat dalam industri pangan dan farmasi. Saatnya gewang terbang sejajar dengan pangan yang lain dan bukan lagi menjadi simbol paceklik dan kemiskinan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H