[caption caption="Cahaya surga hasil pendaran cahaya matahari dengan uap air, keindahan ini dapat disaksikan di dasar goa goa brubug (dok.pri)."][/caption]
Tetiba hawa dingin menyeruak dari dasar goa diiringi dengan suara gemuruh air. "mas tarik mas tarik, aku tak mampu naik..!" teriak Dian teman saya yang menjadi orang terakhir saat hendak naik dari dasar goa Jomblang. Waktu sudah mendekati pukul 18.00 dan dasar goa sudah gelap gulita, Dian masih bergelantungan 40 meter. Teringat akan sebuah cerita jika tempat ini konon dijadikan tempat penjagalan para korban G30S dan petrus. Yang terjadi selanjutnya adalah, bukannya kapok tetapi 3 kali lagi masuk untuk menjelajahi perut bumi dari pintu Jomblang.
Mentari baru saja bangkit dari ufuk timur seiring dengan burung perkutut milik pak Brewok yang manggung bersahut-sahutan. Untuk masuk ke goa Jomblang, biasanya para penelusur goa akan bermalam sekaligus meminta ijin pada pak Dukuh yang biasa dipanggil pak Brewok, padahal tidak ada cambangnya sama sekali. Semalaman kami menginap dirumahnya yang berbentuk limas dan kami tidur hanya beralaskan tikar, itupun ada yang mendengkur karena begitu nikmatnya.
[caption caption="Berfoto bersamsa dengan pak kepala dukuh yang dipanggil pak Brewok (no.4 dari kiri) (dok.pri)."]
[/caption]
Dari rumah pak Dukuh untuk menuju mulut goa Jomblang sekitar 2km dengan melewati perkebunan penduduk. Tidak banyak mereka yang mengunjungi goa jomblang, karena merupakan tempat minat khusus. Khusus mereka yang penasaran akan dasar jomblang, dan mereka yang mengkhususkan diri mati-matian berlatih tali temali dan panjat tebing serta melawan fobia ketinggian.
Tali carmmantle sebanyak 3 gulung masing-masing panjangnya 50 meter sudah saya persiapkan dimulut goa. Beberapa teman lain sibuk merangkai cincin kain meraka dalam seat harnes-nya masing-masing. Kali ini saya akan membawa teman-teman yang nyaris sama sekali belum pernah turun goa, tetapi saya sudah memastikan mereka bisa sebab malam sebelumnya sudah kursus singkat. Saya tidak menyangsikan kemampuan mereka di alam bebas sebagai seorang pelancong yang menjelajah nusantara. Tetapi untuk urusan keselamatan, kali ini saya tidak mau ambil kompromi dan spekulasi.
Saya dan Dian yang sudah terbiasa merayap ditebing memasang beberapa pengaman. Kali ini kami menjadi orang yang benar-benar tidak percaya dan minim akan keyakinan. Beberapa tempat kami pasang pengaman ganda, padahal satu saja sudah cukup. Pengaman terpasang sempurna walau kadang masih 2-3 kali memeriksa kembali apa sudah terpasang dengan baik dan benar. Perlahan saya tuntun satu persatu teman untuk turun tebing setinggi 40m yang dikenanal dengan jalur VIP.
[caption caption="Operator jelajah goa sedang menurunkan kliennya yang hendak menelusuri goa Jomblang (dok.pri)."]
[/caption]
Wajah-wajah keraguan dan kengerian mereka kadang terlihat dari tangan yang mencengkeram peralatan dengan erat dan pergerakan yang kaku. Ketegangan saat tubuh sebentar lagi bergelayutan bebas di atas tebing terlihat dengan mengucurnya keringan dan suara yang kadang terbata-bata. Namun, ketegangan itu berangsur menjadi keceriaan saat kaki perlahan-lahan mulai menyentuh dasar goa.
"braaaakkk...." tiba-tiba terdengar suara benda jatuh dari atas tebing. Saya hanya diam terpaku, sedangkan 2 teman saya masih tanda tanya, benda apa yang jatuh. Sebuah kamera seharga 10 juta meluncur bebas dari tas tebing. Lensa lepas dari body, bateray sudah tercerai dari tempatnya, memory sudah menonjol keluar, kaca pecah berserakan. Batu cadas yang keras baru saja diadu dengan kamera. Sebuah kecerobohan saat hendak mengirimkan kamera menuju dasar goa, karena lepas dari resleting penutupnya. Kami hanya bisa bersyukur "untung.. untung.. untung... " sebab didalam tas masih ada beberapa kamera.
[caption caption="Hutan di dasar goa Jomblang yang nampak menghijau sepanjang musim (dok.pri)."]
[/caption]