[caption id="attachment_320477" align="alignnone" width="640" caption="Banjir belum surut, datang gunung meletus (dok.pri)."][/caption] Banjir belum surut, dan rumah-rumah korban belum kering muncul pemberitaan yang penuh dinamika. Masih hangat di media sosial diberitakan, pengungsi menolak nasi bungkus, pengungsi membuang nasi bantuan dan lain sebagainya. Intinya ada pengungsi yang tak suka dengan nasi bungkus, dan ada satu sisi mereka yang tak suka dengan sikap pengungsi. [caption id="attachment_320484" align="alignnone" width="640" caption="Relawan harus memiliki kekuatan yang besar, termasuk hati dan kreatifitas. Mereka sebenarnya tidak bisa memasak, tetapi keadaan mengharuskan mereka membuat menu itimewa. Kekuatan dan kreatifitas itu muncul saat ada desakan. Relawan harus kreatif (dok.pri)."]
[/caption] Tidak sedikit komentar yang mencemooh para pengungsi yang menolak atau membuang bantuan makanan. Beragam pendapat, seperti; tak tahu terimakasih, tidak bersyukur, hingg ada yang berkomentar biarkan kelaparan atau disapu banjir sekalian. Sangat miris dan ironis, mengapa hanya gegara makanan semua pada ribut, bahkan mereka yang nan jauh disana dan hanya tahu lewat dunia maya juga ikut nimbrung memperkeruh suasana. Suatu hari adik saya sakit dan dirawatlah di rumah sakit. Demam berdarah mengaruskan dia beristirahat beberapa hari di rumah sakit. Kesehariannya sebagai aparat yang membantu korban di Kampung Pulo harus dia hentikan. Kesehariannya hanya istirahat diranjang, tiduran, nonton tv sambil sesekali melihat cairan infus apakah sudah habis atau belum. [caption id="attachment_320478" align="alignnone" width="640" caption="Inilah makanan paling enak sedunia dan tiada tandingannya. Saat situasi badan sehat, lapar, pikran tenang dan tidak ada makanan pilihan. Para relawan yang harus berbagi makanan (dok.pri)."]
[/caption] Akhirnya sampai juga dititik jenuhnya. Biasa dilapangan mengalau orang demo atau dilokasi bencana kini harus dipenjara di rumah sakit. Yang dia permasalahkan adalah makanannya. 3 kali sehari harus makan teratur dengan menu; bubur, sayur sop, daging, pisang, dan jus buah-buahan. Menu yang enak bukan, tetapi kenapa dia marah-marah. "Lebih enakan nasi bungkus dari kampung pulo dari pada makanan rumah sakit", padahal jelas-jelas bergizi makanan rumah sakit. Lantas saya bertanya, makanan enak itu apa?. Dia menjawab, "makanan enak ya pas saat kita lapar, tidak ada pilihan dan pikiran kita sedang senang. Seenak-enaknya makanan, kalau pikiran kita sedang kalut, badan tak sehat ya lidah ini mati dan tak ada nafsu makan". Pertanyaan saya sederhana, apakah para pengungsi itu sehat jiwa raganya..? Bayangkan siapa yang tidak frustasi, rumah kontrakan yang jatuh tempo pembayaran tiba-tiba harus direndam oleh bencana banjir. Harta yang berharga tak tahu hanyut kemana. Pekerjaanpun hilang gara-gara terpaksa mengungsi hingga tak ada pemasukan dalam keseharian. Sekuat-kuatnya kondisi fisik, jika diterpa air hujan, bibit penyakit, situasi yang buruk pasti tubuh mudah sakit. Belum lagi beban pikiran. Memang mengurusi orang kena bencana kadang lebih susah daripada mengurus orang sakit. Orang sakit cukup kasih pilihan "mau sembuh atau tidak..!" pasti makanan segera dimakannya walau dengan terpaksa. [caption id="attachment_320479" align="alignnone" width="640" caption="Usai diskusi menu, langsung meluncur mencari bahan-bahan makanan. Andalkan kelompok motor, mereka sangat senang dengan tugas ini. Sebuah kisah dari lereng merapi dimana semua bisa difungsikan (dok.pri)."]
[/caption] Tahun 2010 saat Merapi mengalami erupsi. 2000 warga tumplek blek di balai desa. Mereka butuh makan butuh minum, tapi tidak ada sesuatupun yang bisa mereka masukan dalam mulut. Puluhan pohon ubi kayu milik petani yang ada dibelakang balai desa akhirnya dicabut paksa dan direbus ramai-ramai. Minum hanya dari air yang dididihkan tanpa ada rasa dan warna. Mereka bersyukur masih ada yang bisa dimasukan dalam perut walau hanya sesaat sebelum lapar itu datang. Lain ladang lain bencana. Karakter manusia juga beragam dalam menghadapi bencana. Sebagai orang yang dijauhkan dari bencana, seharusnya berpikir bukannya mencibir. Wajar saja mereka ngamuk-ngamuk, namanya saja bencana. Mereka yang tidak siap keluar dari zona nyaman, pasti akan frustasi dan salah satu aksi dengan membuang nasi. Tunggu saja jika sudah tidak ada pilihan dan mereka dihadapkan pada pilihan, seperti pengungsi merapi yang makan ubi kayu. [caption id="attachment_320480" align="alignnone" width="640" caption="Mencari menu cukup didepan layar monitor, hanya dari imajinasi semua bisa direalisasi. Suasana gudang logistik dimana relawan serang mencari resep masakan (dok.pri)"]
[/caption] Relawan selain besar tenaga dan pikiran, juga harus memiliki jiwa yang besar. Tidak usah ikut terbawa emosi, terlebih gara-gara nasi. Dari setiap peristiwa pasti ada hikmahnya dan akan memancing kreatifitas. Mungkin saat ini mereka frustasi gara-gara nasi yang menunya itu-itu saja. Cobalah sesekali diadakan lomba masak nasi goreng, yang menang boleh milih hadiah apakah mie instan atau sembako lain. [caption id="attachment_320481" align="alignnone" width="640" caption="Salah satu cara memberi makan hati dan pikiran mereka, yakni dengan nonton bareng. Kalo semua senang dijamin sebentar lagi lapar dan akan makan kenyang. (dok.pri)."]
[/caption] Sebelum perut mereka dikenyangkan, kenyangkan pikiran mereka yang carut mawut. Jika pikiran dan jiwa mereka dikenyangkan dulu, apapun makanannya pasti minta tambah. Saya hanya teringat di lereng merapi saat itu. Tiap malam diskusi dengan ibu-ibu pengungsi. "bu besok anak-anak mau dimasakin apa, dan orang tua mau menu apa..?". Setelah menu di putuskan, malam ini kami relawan bergerak untuk menyiapkan bahan-bahan dan menjelang subuh siap untuk dimakan. [caption id="attachment_320482" align="alignnone" width="640" caption="Anak-anak dan lansia menjadi prioritas untuk membantu meringankan pikiran orang tua. salah satu kegiatan relawan yakni membagikan makanan ringan kepada anak-anak saat orang tua tak sanggup lagi memberi uang jajan (dok.pri)."]
[/caption] Sebanarnya kondisi orang dewasa tidak terlalu dipusingkan. Jika mereka lapar sudah tahu harus bagaimana. Nah yang menjadi beban pikiran orang tua adalah dengan anak-anak dan lansia. Disini kuncinya, biar beban pikiran orang tua sedikit ringan. Senangkan anak-anak dan pikirkan para lansia. Jika beban pikiran orang tua ini ringan, niscaya tidak ada nasi yang terbuang kecuali benar-benar sudah kenyang atau nasi memang tak layak makan/rusak. Memang kadang emosi juga, sudah disiapkan tapi tidak dihabiskan bahkan terbuang sia-sia. Disinilah tantangan buat kita untuk mencari solusi. Akhirnya solusi jitu ketemu juga "buat mereka lapar...". Bukan maksud menggurui, tetapi hanya berbagi saja. Tabik buat para relawan. [caption id="attachment_320483" align="alignnone" width="640" caption="Saya yakin tak ada nasi yang tersisa, "]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H