[caption id="attachment_2620" align="aligncenter" width="576" caption="Rak-rak yang menyimpan fosil-fosil temuan di situs manusia purba sangiran (dok.pri)."][/caption] Sebuah gudang dengan rak-rak besi dengan 6 baris dan 4 kolom nampak kokoh menyangga nampan-nampan berisi tulang belulang. Tulang belulang ini adalah mahakarya masa lalu selama ratusan ribu tahun, dan para arkeolog menyebutnya dengan fosil. Secara harafiah fosil bisa diartikan tulang belulang atau sisa tumbuhan zaman purba yang telah membatu dan tertimbun dalam lapisan tanah. Dalam ruangan ini, fosil-fosil seoalah hidup lagi dan mampu menjawab pertanyaan para ahli purbakala, mereka hidup kapan, dan matinya kenapa. Bagi saya terlalu jauh menjangkau masa itu, tetapi hari ini saya beruntung diijinkan masuk dalam gudang di museum Balai pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran (BPSMPS). [caption id="attachment_2616" align="aligncenter" width="576" caption="Gunung Lawu nampak dari arah jalan Tingkir menuju Gemolong. Pemandangan indah manakala fajar menyingsing (dok.pri)."] [/caption] Pagi yang cerah saat perjalanan selepas subuh dari Salatiga menuju Sangiran. Sebuah jalan pintas lewat jalur Tingkir-Gemolong yang bisa memangkas jarak hampir 1 jam perjalanan, jika harus lewat Solo. Keuntungan kedua adalah, mata ini akan disajikan lansekap sisi timur Jawa Tengah yakni pemandangan matahari terbit dari Gunung Lawu (3265 mdpl), pematang sawah beserta balutan tipis halimun dan geliat penduduk yang mulai beraktifitas. Perjalanan yang dirancang agar mendapat momen-momen yang indah, menjelang fajar tiba. Dari Salatiga menuju Sangiran jika lancar bisa ditempuh hanya dengan 1,5 jam perjalanan. Setelah usai menikmati suguhan pagi di balik bayangan Gunung Lawu saat menembus perkampungan yang dibawahnya adalah hunia manusia purba sekitar 250.000-700.000 tahun yang lalu. Di Kecamatan Kali Jambe, Kabupaten Sragen adalah letak dari situs manusia purba. Kawasan situs manusia purba sudah dipetakan dengan luas 52 km persegi. Situs ini terletak di 2 kabupaten yakni Sragen dan Karanganyar. Pada tahun 1996, UNESCO menetapkan Sangiran sebagai situs warisan budaya dunia dengan nama "Sangiran Early Man Site". [caption id="attachment_2618" align="aligncenter" width="576" caption="Ruangan tempat para arkeolog bekerja dengan fosil temuannya (dok.pri)."] [/caption] Pagi itu saya langsung di sambut pak Dody, sebagai salah satu staff BPSMPS. Tanpa basa-basi dia langsung mengajak dalam sebuah ruang pertemuan yang bernama Teuku Jacob. Nama yang tak asing lagi bagi para arkeolog. Teuku Jacob adalah bapak paleoantropologi Indonesia, yang banyak meneliti fosil yang ditemukan di Indonesia. Menjelang akhir hayatnya, dia sempat menghebohkan dunia karena kritik terhadap asal-usul penemuan Homo floresiensis (manusia dari flores). Hanya itu yang terekam dalam pikiran saya sebelum mesuki ruangan yang namanya diambil dari maestro antropologi ini. Tak berselang lama Pak Dody sudah bersiap dengan slide presentasi untuk mulai memperkenalkan situs manusia purba. Sebagai seorang geolog, tentu saja bukan hal yang asing jika harus berkutat dengan manusia purba, karena kepakarannya terletak pada lapisan-lapisan tanah yang menyusun Sangiran. [caption id="attachment_2619" align="aligncenter" width="576" caption="Jenis gigi rusa, entah darimana disimpulkan yang pasti saya percaya saja daripada pusing memikirkan (dok.pri)."] [/caption] Usai memaparkan slide-slidenya pak Dody mengajak untuk melihat ruang kerja para arkeolog. Pintu kayu yang menutupi ruangan pelan-pelan di buka, dan benar saja sebuah meja berukuran besar isinya hanya nampan dan fosil-fosil yang tidak karuan bentuknya. Sepintas saya melihat fosil tulang berupa persendian, ada tengkoran binatang, dan serpihan-serpihan tulang yang lain. Sesaat saya bertanya pada pegawai yang nampak asyik memainkan kuasnya sambil memoleskan sejenis cairan di atas fosil, agar tidak teroksidasi dan membuatnya rapuh. "ini fosil gigi rusa, ini tulang iga kerbau, ini gigi anak gajah, ini serpihan fosil kayu" kata petugasnya sambil menunjuk satu persatu fosil yang sudah dilapisi. Sementara jika saya dibohongi oleh mereka toh saya juga tidak tahu, tetapi yakinlah apa yang dikatakan para pakarnya. [caption id="attachment_2621" align="aligncenter" width="576" caption="Fosil gading gajah sepanjang hampir 3 meter yang sudah terfragmentasi (dok.pri)."] [/caption] Setiap hari pekerja di sini bekerja dari pukul 08.00 hingga 16.00 untuk membersihak fosil, memulasnya dengan caiaran penguat, mengukur dimensi, berat dan volume, serta mengidentifikasi jenis tulang bagian mana dari binatang, tumbuhan atau manusia. Mereka adalah detektif purbakakala yang mampu melihat jauh ke belakang ratusan ribu tahun yang lalu. Pengetahuan anatomi hewan dan tumbuhan seorang tak perlu diragukan lagi, terlebih hebat lagi saat mereka bisa merekonstruksi hingga menjadi bentuk yang utuh. [caption id="attachment_2617" align="aligncenter" width="576" caption="Popo, kuda air dari Sangiran sudah kembali setelah melancong di Prancis dan sudah berhasil di rekosntruksi (dok.pri)."] [/caption] Proses rekonstruksi bukanlah perkara yang mudah, sebab harus mampu menggambarkan sesosok individu yang utuh. Sebuah kabar gembira manakala pemerintah Perancis akhirnya mengembalikan si Popo, yakni kuda air (Hexaprotodon sivalensis) atau familiar disebut dengan kuda nil. Rangka yang ditemukan hanya sekitar 80% tetapi sudah berhasil direkonstruksi dan diberi nama Popo yang berasal dari kata Hippopotamus yang artinya kuda air. Bisa di bayangkan, dahulu di pulau dihuni oleh kuda air, dan si Popo sudah menjawabnya. Lain kisah dengan apa yang dilakukan oleh seniman purbakala asal Prancis. Elisabeth Daynes telah berhasil merekonstruksi Sangiran17. Sangiran17 adalah kerangka utuh dari kepala manusia purba yang ditemukan pada tahun 1969 yang hidup sekitar 700 ribu tahun yang lalu. Dengan menggunakan analisa yang rumit dan membandingkan dengan manusia-manusia purba jenis yang lain, maka sekitar tahun 2010 Sangiran17 sudah datang dari Prancis dan kini menghuni ruang pamer di Klaster Krikilan. Tidak hanya Sangiran17 yang sudah berhasil direkonstruksi, tetapi manusia kerdil asal Flores yakni Homo floresiensis yang setinggi 106 cm juga menjadi masterpis di museum ini. Tahun 2010 saya pernah berkesempatan memegang patung ini, berasa seperti memegang kulit asli karena terbuat dari silikon. Berbeda dengan patung lilin di museum Madame Tussauds yang pernah saya kunjungi. Tidak salah jika Sangiran17 dan Homo Floresiensis dihargai hampir 2 miliar dalam pembuatannya. [caption id="attachment_2622" align="aligncenter" width="576" caption="sangiran17 (kiri) dan Homo floresiensis (kanan) hasil rekonstruksi dan bisa menjadi gambaran utuh individu (dok.pri)."] [/caption] Sebuah kekaguman para pakar purba kala manakala sedang bekerja untuk mengungkap sejarah masa lalu. Saya hanya baru melihat sebuah serpihan dari kerja mereka, tidak membayangkan bagaiman melihat kerja utuh mereka dari mencari situs, menggali, mengangkat, membersihkan hingga merekonstruski menjadi bentuk individu utuh. Selain itu pekerjaan mereka juga ditambah untuk mencari kapak mereka lahir yakni dengan analisa carbon 14 dengan mencari paruh waktunya. Prilaku mereka juag dipelajari berdasar benda-benda temuan yang ada disekitar fosil berikut lapisan tanah yang menimbunnya. Sebuah pekerjaan detektif dalam mengungkap masa lalu, dan sayang untuk dilalukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H