[caption id="attachment_356663" align="alignnone" width="640" caption="Jembatan cinta pulau Tidung yang menjadi arena pemacu adrenalin (dok.pri)."][/caption]
"Ini kalau di kampung saya mirip empang, bukan terumbu karang," kata teman saya Beto asal Papua. Sebuah komparasi yang menyolok saat dia mencari-cari terumbu karang di sisi barat laut pulau Tidung. Karang-karang mati atau yang sudah mengalami pemucatan, sampah yang berserakan, benda-benda tersebut yang ditemui teman saya. Saya hanya diam, tidak berani berkomentar apalagi membandingkan dengan kampungnya. "Mungkin dulu, tempat ini seindah tempatmu," saya hanya bisa menghibur dia dan hanya bisa tersenyum tanpa tahu harus berkata apalagi.
Pukul 04.00 kereta menoreh sudah merapat di Stasiun Senen dan segera saya dan teman dari Papua pindah kendaraan teman yang sedari tadi sudah menunggu. Pacu mobil di subuh Ibu Kota membelah jalanan yang masih sepi. Tujuan pagi buta ini adalah Muara Angke yang menjadi titik awal kami untuk menuju Kepulauan Seribu. Usai memasuki jalan pasar yang becek dan penuh dengan pedagang ikan laut, kami memakirkan kendaraan.
[caption id="attachment_356664" align="alignnone" width="640" caption="Suasana dalam kapal kayu yang membawa kami menuju pulau Tidung (dok.pri)."]
[/caption]
Jadwal kapal yang akan membawa kami ke Pulau Tidung akan berangkat pukul 07.00. Satu jam sebelumnya kami sudah masuk di kapal yang semakin lama penuh sesak dengan penumpang. Matahari belum juga kelihatan, karena awan kelabu menutupi langit Jakarta yang mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Hilir mudik perahu penumpang dan nelayan nampak sibuk di pelabuhan ini. Beberapa perahu keluar dari dermaga sandar mereka untuk mencari peruntungan di laut.
Pelan kapal kayu yang kami naiki melepas ikatan tali dan mesin sudah dinyalakan. Perlahan keluar dari deretan kapal-kapal nelayan dan segera setelah itu langsung lepas menuju laut bebas. Kapal dengan kecepatan 15 km/jam ini memilah gulungan ombak yang sedari tadi sudah dihantam gerimis. Angin laut mulai membius para penumpang yang sudah mengambil posisi untuk tidur. Beberapa mahasiswa dari negara asing sudah duluan mendapat kapling untuk tidur, dan kami cukup diam sambil bersandar di dinding.
[caption id="attachment_356665" align="alignnone" width="640" caption="Para pekerja yang sedang menyelesaikan sebuah kapal kayu (dok.pri)."]
[/caption]
Hampir 3 jam, perahu yang kami tumpangi untuk sampai di pelabuhan Pulau Tidung. Gerimis menyambut kami yang tak kalah dengan rayuan pengemudi becak motor yang ingin mengantarkan ke home stay. Kami memutuskan untuk jalan kaki sejauh 300 m untuk menuju home stay yang sudah kami pesan sebelumnya. Harga yang cukup murah untuk sebuah home stay seharga 400 ribu per hari dengan fasilitas 2 kamar ber ac, 2 kamar mandi dan sebuah dapur.
Pulau Tidung terdiri dari Tidung Besar dan Kecil. Tidung Besar dihuni penduduk sekitar 5.000 jiwa dengan luas wilayah 109 ha. Pulau Tidung kecil tidak berpenghuni, jika ada itu pun hanya pegawai dari instansi pemerintah yang sedang melakukan budi daya tanaman hutan pantai. Kaki sudah tidak sabar untuk segera berjalan menyusuri jalanan Pulau Tidung.
Kami melangkahkan kaki menuju sisi barat pulau. Tak berapa lama berjalan kami sudah berhenti karena ada sesuatu yang menarik, yakni pembuatan perahu. Kali pertama saya menyaksikan pembuatan perahu kayu. Saya pun sempatkan diri untuk mengobrol dengan pekerja yang sedang memulai pekerjaannya usai istirahat siang. Perahu yang sudah terbentuk lambungnya ini tinggal sedikit lagi pengerjaannya.
Untuk membuat sebuah perahu butuh waktu hampir 2 bulan. Diawali dengan membuat kerangka yang terdiri dari gading dan lunas. Setelah itu bilah-bilah papan dibentuk untuk dijadikan lambung perahu dengan cara pemanasan dan penekakan. Usai lambung jadi, tinggal menambal sekat sambungan papan. Dahulu menggunakan serabut kelapa, tetapi kini sudah menggunakan campuran katalis dan epoksi.