Lihat ke Halaman Asli

Dhanang DhaVe

TERVERIFIKASI

www.dhave.id

Generasi Berencana Menghindari Guncangan Demografi dan Pangan

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1412905269727838480

[caption id="attachment_365302" align="alignnone" width="600" caption="Diagarm Robert Maltus yang menyatakan laju pertumbuhan penduk mengikuti laju derethitung, sedangkan kecukupan pangan mengikuti laju deret ukur. Jikan ini terjadi maka demografi dan pangan akan menjadi sebuah ancaman.(dok.pri)"][/caption]

Tahun 2014 majalah National Geographic mengangkat tema "pangan dan penduduk". Tema ini begitu serius di kaji karena pangan dan penduduk digambarkan lewat sebuah diagram oleh seorang ekonom Robert Maltus. Dia mengatakan pertumbuhan manusia mengikuti deret hitung sedangkan ketersediaan pangan mengikuti deret ukur. Mungkin saat ini ketersediaan pangan masih melimpah, tetapi tahun demi tahun laju pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali dan sumber pangan menurun akan menjadi sebuah bencana.

Suatu saat saya berkunjung di sebuah TPA (Tempat pembuangan sampah akhir). Rumah-rumah bedeng berderet di sudut tumpukan sampah yang menggunung dan berhketar-hektar. Diantara rumah-rumah semi permanen yang jauh dari keramaian terdengar suara penuh gairah asmara. Mungkin inilah hiburan satu-satunya ditempat yang terpencil ini. Alhasil bisa ditebak, dalam satu keluarga memiliki anak yang cukup banyak. Pendapatan dari memulung sampah kadang tidak sebanding dengan pemenuhan kebutuhan hidup sesehari untuk keluarnganya. Akibatnya anak-anak akan dikorbankan masa kecil dan pendidikannya dan harus ikut banting tulan membantu perekonomian keluarga. Tidak sedikit fenomena keluarga miskin dengan jumlah anggota keluarga yang besar.

Berbeda dengan di beberapa maju layaknya Singapura atau Jepang. Pemerintah begitu mengidam-idamkan penduduknya untuk memiliki anak, bahkan memberi subsidi. Lain ceritanya dengan negara miskin atau berkembang yang semuanya serba beranak pinak, sedangkan negara maju malahan berbeda. Tidak sedikit keluarga yang sudah mapan, hanya memeiliki satu atau dua anak, bahkan ada juga yang belum dikaruniai anak sehingga harus mengadopsi.

Saya teringat akan pelajaran tentang bercocok tanam. Kata guru saya, "jika ingin tumbuhan lekas berbuah maka siksalah dia. Dengan tumbuhan yang mendapatkan tetakan maka secara alami dia segera berupaya mempertahakan generasinya dengan beranak pinak dan salah satunya dengan cara berbuah. Tanaman bisa di lukai batangnya, bisa dipangkas, bisa dikurangi pasokan airnya. Berbeda dengan tanaman yang selalu di pupuk, diberi air cukup maka dia akan merasa nyaman dan terus saja tumbuh dan tidak berbuah karena merasa nyaman". Dalam dunia hewan tak jauh berbeda, hewan dengan tingkat mortalitas tinggi akan beranaka atau bertelur dalam jumlah banyak. Penyu hijau akan bertelur ratusan tetapi yang bertahan hidup hingga dewasa hanya 1-3 ekor saja. Demikian juga dengan ikan, akan bertelur dalam jumlah banyak tetapi yang bisa bertahan tidak sebanyak dari jumlah telur karena ancaman pemangsa. Berbeda dengan hewan dengan pemangsa sedikit atau yang duduk dalam top predator, layaknya elang atau gajah maka akan beranak tidak banyak.

Melihat fenomena ini maka sangat penting akan adanya generasi berenca. JIka meliha spanduk BKKBN di tepi jalan raya sebenarnya sangat mudah dengan memperhatikan 4 terlalu;  terlalu muda untuk melahirkan, terlalu tua untuk melahirkan, terlalu rapat jarak kelahiran dan terlalu sering melahirkan. Namun dibalik itu semua, perlu adanya pendidikan dan penyediaan zona nyaman. Jika mengambil dari ilustrasi mahluk hidup yang terancam maka kencederungan untuk mempertahankan generasinya dengan bereproduksi maka akan menjadi lampu merah jika melihat situasi yang ada sekarang ini.

Hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 yang menunjukkan program KB sudah “lampu merah” atau “bahaya” artinya mereka yang sudah menikah bisa menjadi pengguncang demografi terlebih mereka yang berencana menikah bisa menjadi fenomena gunung es. Mungkin pertama, pemerintah sejak dini harus bisa memberikan edukasi dalam segala aspek, yang kedua menciptakan iklim yang nyaman agar penduduk bisa nyaman bartumbuh kembang seperti negara-negara maju. Sangat mengerikan jika harus memberikan sangsi seperti di TIongkok yang benar-benar tegas dalam mengendalikan populasi penduduknya. Yang ketiga adalan mempertahikan kebutuhan pangan, agar kekawatiran seperti yang banyak diulas di National Geograhic dan teori Robert Maltus benar-benar menjadi ancaman, maka pentinglag generari berencana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline