[caption id="attachment_379657" align="alignnone" width="640" caption="Seorang anak sedang mencuci tangan dengan Tipitap, salah satu teknik mencuci tangan yang dikembangkan di NTT (dok.pri)."][/caption]
Suatu hari saya mendapat tugas untuk menggantikan salah satu seorang juri yang berhalangan hadir dalam penilaian lomba sekolah sehat tingkat SMA/SMK sekaresidenan sejawa tengah. Ada 6 perwakilan SMA/SMK yang harus dinilai berkaitan dengan parameter kesehatan yang menjadi acuan penjurian. Salah satu yang poin yang menarik dalam penilaian adalah budaya mencuci tangan bagi para warga sekolahnya. Masing-masing sekolah berlomba-lomba menyajikan budaya sehat ini kepada civitas akademikanya.
Di balik tersedianya sarana, prasarasa mencuci tangan berikut dengan tata caranya tetaplah ada saja yang mengabaikannya, bahkan hanya memandang sebelah mata. Lain cerita saat saya sempat berkerja di perusahaan pengolahan dan pengemasan ikan milik PMA dari Jepang. Sanitasi benar-benar di jaga dan menjadi fokus pengawasan dalam produksinya. Beberapa negara Eropa, Asia Timur dan Amerika memberikan standar yang tinggi terhadap baku mutu ikan berkaitan dengan nilai cemaran mikroorganisme. Cemaran mikroorginse ini sebagian besar berasal dari para pekerja, sehingga perusaan mewajibkan standar yang tinggi terhadap sanitasi. Karyawan wajip mencuci tangan dengan sabun, mengeringkannya dan membilasnya dengan alkohol 70%.
[caption id="attachment_379659" align="alignnone" width="640" caption="Salah satu ruang untuk mencuci tangan di salah satu sekolah modern di Jawa Tengah. Usaha untuk menjadikan kebiasaan mencuci tangan sebagai budaya sehat (dok.pri)."]
[/caption]
Namun karyawan hanya menganggap mencuci tangan hanyalah konsumsi perusahaan saja, sedangkan diluar mereka kembali dengan kebiasaan yang buruk. Begitu juga dengan hasil wawancara dengan beberapa siswa yang sekolahnya menjadi wakil dalam lomba sekolah sehat. Mereka mencuci tangan saat benar-benar kotor, disuruh gurunya, begitu keluar dari sekolah kebiasaan baik hanyalah slogan semata. Sangat ironis sekali dimana sarana dan prasaranya ada, namun tidak digunakan sebagai mana mestinya, kembali pada sebuah kesadaran dan budaya.
Ekspektasi saya berubah drastis manakala saya berkungjung disebuah pedalaman di Nusa Tenggara Timur. Daerah yang tandus, kering, dan susah dengan ketersediaan air. Menjelang musim kemarau, para penduduk tak lagi bisa mengandalkan air hujan tetapi harus pergi ke sumber mata air. Kontur tanah yang berbukit tidak memungkinkan mengalirkan air kerumah penduduk yang tersebar dan memilik jarak yang berjauhan. Mereka harus berjalan kaki naik turun bukit dengan membawa bambu atau jerigen untuk penampung dan membawa air. Air yang langka membuat mereka setiap saat bisa mandi, karena air hanya digunakan untuk minum dan memasak, selebihnya tidak.
Namun dari sebuah penyuluhan yang menarik dan layak di apresiasi adalah betapa penduduk disana disadarkan untuk benar-benar menjaga kesehatan. Walau tidak mandi, yang penting sehat caranya adalah dengan cuci tangan. Hampir setiap rumah memikiki wastafel unik yang dinamakan tipitap. Wastafel ini terbuat dari sebuah jerigen yang diberi lobang berdiameter 3-5mm di bagia atasnya dan bagian pegangan tangan didikat dengan tali untu di gantungkan diantara 2 tiang. Bagian mulut jerigen diikat dengan tali dan dikautkan dengan sebuah tongkat kayu. Cara kerja tipitap ini mirim dengan wastafel dengan sensor, tetapi mesinnya dalah salah satu kaki. Dengan menginjak tingkat kayu maka air akan mengucur dan siap digunakan untuk mencuci tangan.
[caption id="attachment_379661" align="alignnone" width="640" caption="Anak-anak di NTT harus mengambil air saat musim kemarau (dok.pri)."]
[/caption]
Anak-anak disana sejak dini sudah dibiasakan untuk mencuci tangan dan kebiasaan ini dimlai dari keluarga/rumah. Sebelum mereka makan dan tidur anak-anak wajib mencuci tangan, begitu juga dengan orang tua mereka. Bagi mereka kesehatan adalah hal yang utama walau dengan segela keterbatanan. Kebiasaan ini sepertinya menampar kita yang jauh lebih beruntung dari mereka di NTT yang dengan segala keterbatasaannya tetapi memiliki budaya kesehatan yang baik terutama dengan mencuci tangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H