Lihat ke Halaman Asli

Teori dalam Ilmu Hubungan Internasional

Diperbarui: 21 Oktober 2024   08:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

A. Realisme

Kekuatan tradisi kaum realis terletak pada kemampuannya menyatakan argumen karena kebutuhan. Tradisi kaum realis berusahan menjabarkan realitas, memecahkan masalah dan memahami keberlangsungan politik dunia. Untuk menyelesaikan tugas ini tradisi kaum realis membangkitkan sebuah tradisi filsafat, dengan Hobbers, Rousseau, dan Machiaveli yang mencoba kembali melengkapi teori dengan otoritas klasikisme. Dengan membangkitkan kembali para pendahulu intelektualnya, realisme kembali menekankan kekekalan dan pentingnya kontinuitas dalam penelitia teoritis. Perhatian normatif dengan permasalahan sebab-sebab perang dan keadaan damai, keamanan dan ketertiban akan terus menjadi pedoman penelitian dan pengajaran Hubungan Internasional karena semua itu pada intinya merupakan permasalahan-permasalahan yang penting. Realisme membicarakan masalah-masalah ini secara langsung dengan mengistimewakan interaksi dan distribusi kekuasaan global di atas pertimbangan lain. Realisme menjelaskan kompetisi dan konflik yang tidak bisa dihindari antar negara dengan menyoroti sifat tidak aman dan anrkis dari lingkungan internasional.

B. Neo-Realisme

Neo-Realisme memberikan penilaian yang meyakinkan mengenai mengapa kebijakan-kebijakan luar negeri negara-bangsa sangatlah mirip, mseki sifat internal mereka jauh berbeda. Neo-Realisme juga memberikan penjelasan yang lebih rinci mengenai keberlangsungan sistem internasional. Tetapi, Neo-Realisme melebih-lebihkan otonomi yang dinikmati negara dari kondisi domestik mereka, menekankan pentingnya struktur dan meremehkan potensi negara untuk mengubah sistem internasional. Neo-Realisme mengimplikasikan bahwa, dalam bentuknya yang sekarang, negara-bangsa adalah perangkat permanen dalam sistem internasional dan bahwa prospek ekspresi alternatif masyarakat politis adalah terbatas. Pernyataan ini sekarang sedang mendapat tantangan dari pemikiran hubungan internasional yang berorientasi dengan lebih kritis.

C. Liberalisme

Fokus dari perspektif liberalisme yaitu kebebasan, kerjasama, perdamaian, dan kemajuan. Penghormatan terhadap hak dan kebebasan individu menjadi dasar kerjasama untuk mencapai kepentingan secara kolektif. Saling ketergantungan melalui kerjasama ini membuat perang menjadi suatu tindakan yang irasional, sehingga perdamaian abadi sebagaimana yang pernah dikemukakan Immanuel Kant bukanlah merupakan suatu keinginan yang utopis, tetapi kenyataan yang mungkin dicapai melalui kolaborasi antar-negara, dan melalui kerjasama ini kemajuan sebagian besar komunitas dapat terealisasikan. Institusi-institusi internasional dibutuhkan sebagai fasilitator mencapai kemajuan yang diinginkan.

Terdapat empat hal mendasar yang menurut Gray (1995: xi-xiii) menyatukan rangkaian pemikiran perspektif liberalisme. Pertama, individualis; yaitu mengutamakan moral individu di atas bentuk kolektivitas lainnya. Kedua, egaliter; menghargai persamaan karena status moral manusia yang setara dan menolak tatanan hukum atau politik yang menimbulkan perbedaan. Ketiga, universalis; menekankan universalitas moral manusia dan menempatkan bentukbentuk asosiasi lainnya pada level tingkatan kedua. Keempat, melioris; percaya bahwa institusi sosial dan tatanan politik dapat diperbaiki. Keempat hal inilah yang tidak saja mengikat, tetapi mewarnai berbagai tesis yang dikembangkan dalam kerangka perspektif liberalisme dalam studi hubungan internasional.

D. Neo-Liberalisme

Agenda-agenda internasional yang semakin meluas seusai Perang Dingin tidak lagi semuanya dapat dijangkau melalui penjelasan-penjelasan power-politics neorealisme (Scholte, 1993). Singkatnya, neorealisme dianggap sebagai perspektif yang sedang mengalami krisis (James, 1993) sehingga ada kebutuhan untuk mendapatkan perspektif lain yang lebih relevan dengan perubahan situasi politik global setelah berakhirnya Perang Dingin.  Adapun prinsip yang terus berkembang pada tiga generasi teori pendahulu neoliberalisme ini ialah, menolak prinsip realisme yang melihat negara sebagai satu-satunya aktor hubungan internasional dan menekankan pentingnya kehadiran aktor-aktor non-negara, sementara dalil utama yang terus dikemukakan ialah tentang pentingnya peran institusi-institusi internasional dalam membantu negara untuk bekerjasama (Grieco, 1988: 486).

Rasionalitas sebagai pijakan berpikir dasar adalah satu elemen yang mirip antara neorealisme dan neoliberalisme, tetapi yang terakhir ini mengarahkan perhatian kita kepada peranan sentral institusi dan organisasi di dalam percaturan politik global (Martin, 2007: 110). neoliberalisme tetap menjadikan kerjasama antarnegara dalam situasi sistem internasional yang anarkis sebagai fokus perhatiannya. Dengan begitu, dapatlah dikatakan bahwa prinsip utama yang diusung neoliberalisme ialah optimisme terhadap kemungkinan kerjasama dibawah sistem internasional yang anarkis. perbedaannya terletak pada soal seberapa jauh kemungkinan itu dapat terealisasi. Neorealis skeptis melihat kemungkinan realisasinya oleh karena pada prinsipnya negara cenderung memaksimalkan kepentingan masing-masing. Sementara itu, neoliberalisme berargumen bahwa keuntungan timbal-balik akan menjadi dorongan untuk kerjasama, dan ketika hal ini difasilitasi oleh institusi internasional, maka kerjasama internasional adalah peluang yang menguntungkan bagi semua pihak (Baldwin, 1993: 5).

E. Marxisme

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline