Lihat ke Halaman Asli

Refleksi 486

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ke Jakarta aku kan kembalii.. i.. i.. i.. i..

Walaupun apa yang kan terjadi.."

Ya, bila kita ingat sepenggal lirik lagu milik Koes Plus diatas nampaknya benar adanya. Jakarta dengan segala fasilitas yang tersedia memang selalu menyajikan daya tarik tersendiri yang mampu membuat para pendatang baik baru maupun lama untuk selalu datang ke kota ini. Mulai dari fasilitas pendidikan, kesehatan, hiburan hingga sampai kepada peluang pekerjaan semua mampu memberi harapan nyata kepada warga yang tinggal didalamnya.

Sejak dulu pula keberadaan kota yang dulu terkenal dengan sebutan Sunda Kelapa ini menjadi tujuan semua orang dari penjuru nusantara. Letaknya yang berada di Pulau Jawa yang sangat strategis juga sempat menjadikan Jakarta sebagai pelabuhan ternama juga pusat perdagangan mulai sejak zaman kerajaan Hindu Kuno sampai ke zaman penjajahan.

Dan atas dasar itu pulalah mungkin Ir. Soekarno menetapkan Jakarta bukan hanya sebagai sebuah Distrik/Provinsi, tetapi menjadikan pula Jakarta sebagai ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semenjak itu seolah Jakarta bertransformasi menjadi sebuah kota yang mengharuskan posisinya sebagai pionir kemajuan dan juga sebagai contoh acuan bagi pembangunan kota-kota di Indonesia.

Perlahan namun pasti sampai saat ini Jakarta yang dulunya hanya menjadi pusat kegiatan perdagangan, kini sudah bertambah menjadi pusat dari segala macam kegiatan perkotaan seperti pendidikan, kesehatan, hiburan, serta pemerintahan. Dan yang tak kalah pentingnya adalah Jakarta masa kini juga sudah menjadi pusat dari kemacetan lalu-lintas yang tiada pernah ada istirahatnya. Hal ini bisa makin diperparah apabila musim penghujan tiba. Bukan hanya kemacetan yang akan menjadi-jadi, tetapi juga menjadikan Jakarta memunculkan banyak titik-titik genangan air yang dapat meluas menjadi banjir. Belum lagi banjir di Jakarta tidak hanya disebabkan oleh saluran bawah tanah yang mampet karena sampah, tetapi tidak lupa pula bahwa banjir di Jakarta bisa terjadi karena kiriman dari hulu Sungai Ciliwung di Puncak, Bogor - Jawa Barat.

Selain itu tak bisa dipungkiri juga masalah yang kerap timbul di kota sebesar Jakarta ini adalah masalah sampah-sampah yang kadangkala masih berserakan di sekitaran jalan. Rasanya miris melihat kenyataan bahwa ibukota provinsi sekaligus ibukota negara terkotori dengan sampah. Entah harus menyalahkan siapa, tetapi pada kenyataannya inilah wujud Jakarta saat ini. Bukan tidak adanya peraturan yang mengatur tentang sampah, tetapi jangankan aturan, ribuan anjuran larangan membuang sampah berupa poster, pamflet, baliho, dsb. saja hanya dijadikan angin lalu oleh para warga yang enggan membuang sampah pada tempatnya. Sungguh ironis.

Hal ini makin diperparah pula dengan masih cukup maraknya beberapa pemukiman-pemukiman liar tengah kota, terutama pemukiman-pemukiman liar yang masih saja suka bermunculan di sepanjang bantaran sungai. Pemukiman tersebut bukannya tidak pernah ditertibkan, tapi sesudah ditertibkan tetap saja selalu muncul kembali dan muncul kembali pemukiman tersebut. Bukan juga tidak adanya solusi dan aturan untuk mencegah hal ini semakin menjamur, namun tingkat ekspetasi harapan yang ditawarkan di ibukota yang tinggi ditambah masih kurang begitu tegasnya aparat yang berwenang dalam hal menegakan aturan bagi para pendatang dan serta diperparah dengan tingkat kesadaran warga yang kurang, maka pembangunan pemukiman liar tersebut tetap saja terjadi. Beginilah kota kita, beginilah Jakarta.

Kesadaran. Kata tersebut layaknya memang pantas melekat seiring sejalan dengan perkembangan Jakarta dewasa ini. Karena secara garis besar semua aturan yang mengatur tentang hal-hal pokok yang menjadi trademark ibukota sudah jelas adanya. Seperti masalah sampah ibukota yang telah diatur dalam Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah. Salah satu pasal yang jelas diatur dalam Perda tersebut adalah perihal dikenakannya denda bagi orang yang membuang sampah sembarangan. Dalam aturan tersebut dapat dikutip sebagai berikut, "......Barangsiapa baik itu perseorangan atau kelompok dengan sengaja membuang sampah tidak pada tempatnya dikenakan denda sebesar Rp50.000,-...... ".

Menurut penulis hal tersebut sudah cukup wajar Perda tersebut mengatur denda bagi siapa saja yang membuang sampah sembarangan. Sebab warga Jakarta memang harus ditegaskan dengan sebuah aturan yang sifatnya menjera. Namun aturan tinggalah sebuah aturan yang nampaknya hanya menjadi hiasan semata. Mengapa? Semua dikarenakan tidak adanya kesadaran dari aparat terkait dari perangkat Pemprov. DKI Jakarta untuk menegaskan dan serta memberlakukan aturan tersebut apabila terjadi sebuah pelanggaran. Hal ini juga diperparah dengan kebiasaan setiap warga Jakarta yang masih saja suka membuang sampah sembarangan meskipun mungkin tidak jauh dari mereka terdapat tempat sampah. Kalau sudah seperti ini jelas serba kompleks untuk saling menyalahkan. Disatu sisi perangkat penegak Perda dari Pemprov. DKI Jakarta harus tegas menindak kepada para warga yang membuang sampah sembarangan. Tetapi disisi lain haruslah seiring sejalan dengan meningkatnya kesadaran warga dalam memelihara serta menjaga kebersihan lingkungan sekitarnya untuk keindahan kotanya dengan membuang sampah pada tempatnya.

Karena segala bentuk kemajuan dan perkembangan ibukota adalah bukan tanggungjawab dari Pemprov. DKI Jakarta semata namun haruslah menjadi kesadaran bagi seluruh warga yang mendiaminya. Sebab Jakarta Baru tidak akan tercipta apabila kita sebagai warganya tidak pernah merasa memiliki dan mengakui bahwa kota ini adalah Jakarta Kita, milik kita semua. Dirgahayu Jakarta 486.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline