Oleh : DHARMA SETYAWAN
Public Policy KAMMI Kota Yogyakarta
“Keseimbangan bangsa ini haruslah tertata dengan baik, mencakup keseimbangan jasmani dan rohani” ucap Tan Malaka. Namun impian Pahlawan itu semakin asing dan mengawang di langit narasi. Akibat tindakan korupsi yang semakin ruwet, bahkan kasus korupsi semakin akut, laksana buih ia mengalir terus di permukaan. Namun buih itu tidak pernah ingin dibersihkan agar air menjadi jernih. Korupsi menjadi kemesraan laku pejabat tanpa ada rasa bersalah bahwa mereka dipercaya memegang mandat rakyat.Korupsi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupanelitis, entah itu penguasa atau pengusaha. Korupsi menjadi sahabat karib yang setia memberi jalan kenikmatan tanpa basa-basi. Korupsi menjadi paradigma berfikir pejabat ditengah kejumudan ide untuk memajukan bangsa ini dari banyaknya masalah yang kian runyam.
Asok Bulu Bekti
Dalam istilah jawa dikenal “Asok Bulu Bekti”. Asok Bulu Bektiadalah bentuk perilaku buruk yang dikecam oleh kearifan adat karena polah tingkah di luar nurani manusia. Namun Asok Bulu Bektitetap hidup mengendap-endap walau tidak diamini nurani-nurani kehidupan. Bahkan kita merasa bimbang dengan fakta lapangan yang selalu menggoda bahwa kehidupan kita penuh tata ruang pragmatis. Tata ruang pragmatis inilah yang menihilkan nurani hadir pada kehidupan publik kita.
Korupsi menurut jenisnya ada 4 macam yaitu pertama korupsi ekstortif, yakni berupa sogokan atau suap yang dilakukan pengusaha kepada penguasa. Kedua korupsi manipulatif, seseorang atau korporasi yang memiliki kepentingan ekonomi meminta kepada eksekutif maupun legislatif untuk membuat peraturan atau UUyang menguntungkan bagi usaha ekonominya, sekalipun usaha tersebut berdampak negatif bagi rakyat banyak. Ketiga korupsi nepotistik yaitu korupsi yang terjadi karena adanya ikatan kekeluargaan. Keempat korupsi subversif, yakni mereka yang merampok kekayaan negara secara sewenang-wenang untuk dialihkan ke pihak asing tentu dengan keuntungan pribadi. (Fikih Anti Korupsi Perspekif Ulama Muhammadiyah, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, PSAP :2006).
Asok Bulu Bektimenuai kritik local genius jawa atas birokrasi yang selalu memberi kenyamanan pada ketua besar. Seperti mesin penghisap uang, proses itu selalu bermuara pada hirarki yang paling tinggi. Demokrasi yang susah payah dibangun terlalu gontai untuk berdiri gagah, bahkan tanpa disadari menumpahkan banyak lokal genius, tergerus, hangus dan penuh desas desus. Hedonisme menjadi penilaian sempurna karena mereka yang disinggasana melanggengkan tradisi tersebut. Semakin ke atas aliran korupsi itu semakin deras, namun peredaran ini dimulai dari hilir ke hulu atas intruksi ketua besar. Setelah lima tahun maka uang ini kembali mengalir ke hilir namun hanya dalam bentuk recehan ribu, kaos dan spanduk-spanduk gombal politik. Uang yang mengalir dari bos besar pada perhelatan demokrasi ini keluar namun dihisap oleh tingkat hirarki tengah seperti Intelektual, Sayap Politik, Media pro Partai Politik, Organisasi-organisasi nakal yang ikut bermain. Untuk meng-sugesti disebutlah pesta rakyat, memang benar demokrasi menjadi pesta pora para rakyat.Adanya riuh kampanye, lagu dangdut, artis ibukota dan janji-janji manis membuat rakyat mabuk kepayang. Rakyat kecil yang hanya menerima percikan potong gombal kaos,janji politik serta receh ribuan itu sudah sangat terhibur setelah tahun-tahun sebelumnya mereka lelah menanti bukti nyata. Pesta rakyat lima tahunan itu pun menjadi ritualisme yang kadang-kadang menjadi kebodohan yang terlegetimasi. Para tokoh yang semestinya menjadi panutan pun ikut menikmati jajanan gombal politik mulai dari Kiayi sampai Priayi.
Rakyat Yang Baik
Kita perlu merenungi kembali makna demokrasi kita, Bung Hatta jauh hari mengatakan “pentingnya demokrasi politik dibarengi dengan demokrasi ekonomi”. Namun berat kita melawan nafsu-nafsu lajang yang hinggap di benak pemimpin kita melewati batas nalar dan nurani. Orang-orang yang pernah berkoar dijalanan, menumbangkan rezim dan menggatikan rezim menjadi orang yang bias dan tidak ubahnya penjelmaan razim lampau yang meremajakan diri pada sosok yang lebih muda. Bahkan sosok muda ini lebih bringas dan semakin menegaskan diri menjadi ketua besar yang melakukan ritual asok bulu bekti. Tapal batas kita pada demokrasi seharusnya memberi ruang-ruang apresiasi pada bentuk servant leader (pemimpin yang melayani). Selama ini kita mungkin telah salah karena terlalu memuja dan mengharu biru kepada para pemimpin langitan. Kita menendang pemimpin yang membumi mereka sebenarnya menawarkan kebaikan, kesederhanaan, berideologi dan setia di garis rakyat. Kemudian kita menggantikannya dengan pemimpin elitis, perlente, glamor, hedonis dan bermewah ria.
Sosok seperti Hatta yang di akhir hidupnya tetap sederhana sangat sulit kita cari. Sosok seperti M Natsir seorang perdana menteri yang menggunakan baju bertambal aspal sudah sangat langka. Hari ini kita juga perlu sadar dan kembali saling intropeksi untuk menghargai kepemimpinan pelayanan dan mengubah cara kita bernegara dengan menjadi rakyat yang baik. Sebagai rakyat kita tidak perlu silau dengan polah tingkah pemimpin yang elitis. Selama mereka berbau otoriter, mark-up anggaran APBN/APBD untuk mobil mewah, rumah dinas mewah, studi banding ke luar negeri tanpa konsepsi.Hanya satu kata bagi rakyat yaitu “lawan”. Untuk melahirkan pemimpin yang baik sebagai rakyat kita juga harus sadar untuk sadar benar akan mekanisme demokrasi negeri ini dibangun untuk siapa? Untuk menyenangkan asingkah? Seharusnya untuk menyayangi bangsa ini dengan sebenar-benarnya dan untuk menggembirakan memajukan anak cucu bangsa ini.
Kita harus menjadi rakyat yang tangguh dan terus mengobarkan semangat para pemimpin yang jiwanya mau menghujam ke bumi tapi hatinya berpasrah pada wahyu langit. Bukan sikapnya yang selalu silau akan singgasana yang terus di bangun dengan dana rakyat. Senayan, istana negara, hotel berbintang menjadi tempat nyaman bagi para politisi bermental irlander. Rapat mereka begitu tertutup dan mengeliminir kepentingan fundamen rakyat. Mulai saat ini kita harus berjiwa demokratis, mau menghargai pemimpin yang membumi dan menghargainya sebagai calon-calon M. Hatta baru dan M. Natsir baru. Tokoh seperti Dahlan Iskan yang memberi contoh naik kereta dan ojek ketika bertugas tidak perlu kita curigai sebagai citra. Jokowidodo yang berani melakukan gerakan mencintai produk dalam negeri dengan memakai Mobil Kiat Esemka Rajawali harus didukung sebagai bentuk reformasi sikap pemimpin yang merakyat.
Kita sudahi saja sikap saling mencurigai kepada para pemimpin kita yang sudah menampakan sikap baik. Media, Intelektual, dan Rakyat umumnya perlu membangun garis linier bahwa negeri ini perlu dan butuh sosok-sosok yang membumi dan nir-elitis. Sikap kita untuk selalu jujur dan menolak tingkah polah “asok bulu bekti” adalah kerja rakyat yang memang berat. Tapi kita perlu optimis dengan hal ini, bahwa Ketua Besar yang mengkapitalisasi demokrasi prosedural ini akan punah dengan sendirinya. Tanpa mengurangi sikap kritis disisi lain kita perlu menjadi rakyat yang egaliter dan mulai membangun masa depan Indonesia yang lebih baik. Ketua Besar dan Asok Bulu Bekti adalah buah dari sikap rakyat yang tidak pernah mengevaluasi kembali pilihannya, disaat rakyat diberi kesempatan untuk memilih siapa pemimpinnya. Selama rakyat mau mengenal sosok baik, sosok yang merakyat, sosok yang jujur, sosok yang siap diberi amanah kepemimpinan, maka selama itu rakyat akan memanen kebaikan-kebaikan darinya. Namun jika rakyat yang sudah dua kali pasca reformasi ini dipercaya memilih namun tetap tergoda dengan janji-janji ketua besar, yakin perubahan itu hanya pepesan kosong. Kita perlu sadar, kita perlu bergerak, kita perlu menuntaskan perubahan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H