Permasalahan iuran JKN ini sangat signifikan timbul karena Faktor Kebijakan atas Virus Corona (vina) ini. Dimana tepatnya pada bulan mei 2020 isu kesehatan bertambah ramai. Menurut Perpres 64 tahun 2020, mulai 1 Juli 2020, peserta mandiri kelas 3 hanya membayar Rp25.500, sedangkan sisanya Rp16.500 dibayarkan pemerintah. Di 2021 dan tahun-tahun seterusnya, peserta mandiri hanya membayar iuran Rp 35.000, dan sisanya Rp7.000 dibayarkan pemerintah.
Menurut Prof. Hasbullah Thabrany (2020). Beberapa Reaksi yang Mengemuka:
- Iuran JKN memberatkan masyarakat menengah bawah
- Pemerintah tidak sensitif, dalam situasi ekonomi susah "kok naikan lagi iuran".
- Pemerintah tidak patuh pada putusan Mahkamah Agung
- Ada yang sudah mendaftarkan uji materi baru ke MA
- Peserta akan turun kelas, kasihan
- Layanan tidak baik, iuran naik. Harusnya perbaiki dulu layanan
- RS berharap bayaran BPJSK lancer
- Pemerintah: untuk kesinambungan JKN, dll
Hyogo Framework for Action, adalah sebuah kerangka yang mengatur pengelolaan dan sebagai panduan global yang digunakan oleh berbagai negara dan berisi tentang ketentuan-ketentuan atas kebijakan dalam upaya memberantas kerugian dan upaya pengurangan risiko bencana. Jadi, HFA ini mengevaluasi kebijakan atas Koleksi pendanaan, mengatur wadah pengumpulan dana, pengalokasian dana untuk kesehatan, pembagian biaya, media pembayaran dan sebagainya.
Jadi, semua kebijakan harus mengikuti dan berpacu ke dalam kebijkan HFA ini untuk mencapai efisiensi dari sebuah peraturan.
Namun, yang jadi permasalahan disini, banyak yang menyimpulkan bahawasannya JKN ini sangat tidak bermanfaat atau terjadinya kontradiksi atas kesepakatan dan kenyamanan penggunanya. Seperti stigma dalam sistem JKN ini bahwasannya "Masyarakat Miskin Mensubsidi Orang Kaya?" itu hanyalah mitos belaka. Dimana sekitar 50 % masyarakat miskin ini dibayari iurannya dari APBN/APBD. Dan APBN ini sendiri bersumber dari sekitar 12 juta orang kaya.
Bagaimana dengan penjelasan premis tersebut diatas? Kenyataannya terbalik bukan? Maka dari itu, seharusnya masyarakat terbantu dengan hal ini, namun ada beberapa kelompok dalam populasi masyarakat tidak merasakan atas hal yang sudah di tetapkan, tidak bisa di pungkiri pemerataan terhadap masyarakat atas "Universal Health Coverage" ini belum sama kesetaraannya diakibatkan oleh pengelompokkan atas sistem pengelompokkan oleh JKN ini.
Stigma masyarakat tersebut, dipengaruhi oleh faktor belakang tentang sistem pengelolaan dana dalam JKN itu sendiri. Seperti, adanya perubahan regulasi pemerintah atas pembayaran iuran, deficit karena tidak cukup dana, dan sebagainya. Ini lah yang menjadi suatu alasan untuk menciptakan stigma masyarakat atas program JKN ini kurang efisien. Dimana pendapat tersebut dipatahkan oleh "jika JKN berjalan dengan membantu masyarakat, sudah juga terjadinya perubahan kebijakan atas pembayaran iuran, pengelompokkan pengguna, dan sebagainya. Kenapa masih mengalami defisit? Apakah ada kasus ketidakadanya transpransi atas dana yang dikelola? Apakah dana tersebut digunakan ke dalam hal yang lain selain menjadi insuransi kesehatan? Pikiran tersebut yang memengaruhi stigma masyarakat, dimana hal itu akan menjadi alasan kecurigaan atas efisiensi program ini.
Hal tersebut juga berdampak terhadap setoran dana terhadap pelayanan kesehatan yang melakukan preventif dan kuratif. Dimana akan terjadinya pengurangan dan pembatasan setoran dana terhadap FTKP yang mengobati pasien sebagai pengguna JKN ini. Itu adalah sebuah hal yang membuat pelayanan kesehatan memberikan keterbatasan pelayanan terhadap pasien yang memakai jasa kuratif sebagai pengguna JKN ini. Otomatis efisiensi penuh pengobatan oleh pelayanan kesehatan ini kurang di sisi pengoptimalan kesembuhan pasien dikarenakan oleh faktor pembatasan dana yang diberi oleh pihak JKN tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H