Lihat ke Halaman Asli

Adi Darmawan

Penerjemah bahasa Inggris, peminat bahasa-bahasa, hidrologi, dan geografi

Buya Syakur dalam Silang Kepentingan: Melepas Kepergian Sang Mursyid Sufi Rasional

Diperbarui: 26 Januari 2024   08:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buya Syakur Yasin

Rabu 17 Januari 2024 yang baru lalu, mata saya dibuat berkaca-kaca oleh berita meninggalnya pimpinan pesantren dan penceramah agama Islam terkenal, KH Abdul Syakur Yasin, MA, yang lebih dikenal dengan sebutan Buya Syakur. Walaupun kenyataan bahwa ia sudah berusia 75 tahun dan mengidap penyakit, tetap saja terbersit pikiran dalam hati saya, "Mengapa selalu orang baik yang dipanggil lebih cepat?", tetapi cepat saya sadar bahwa Allah pasti punya rencana yang lebih baik daripada dugaan awal.

Terkait dengan keterkenalan kiai haji asal Indramayu ini, orang-orang yang kenal nama Buya Syakur dapat dibagi ke dalam dua golongan besar. Pertama, adalah mereka yang pernah mendengarkan ceramahnya baik luring maupun daring, langsung maupun tunda. Golongan kedua adalah mereka yang mendengar nama Buya Syakur dari pihak lain yang sifatnya menjelekkan kiai tersebut dan tidak pernah mendengarkan ceramahnya kecuali cuplikan saja. Golongan pertama biasanya cocok dengan isi dan gaya penyampaian dan diskusi Buya Syakur, sedangkan golongan kedua umumnya tidak ambil pusing untuk mau menyimak kata-katanya. Jadi, ada pencinta dan ada pembenci.

Selain dua golongan besar tersebut, ada dua golongan kecil yang juga berseberangan. Ketiga, ialah mereka yang menyempatkan diri datang ke Pesantren Cadangpinggan tempat pengabdiannya dan beruntung dapat bercakap-cakap dengan kiai yang sibuk ini, lalu menjadi sahabatnya, bahkan berkolaborasi dengannya. Sama dengan golongan ketiga, golongan keempat adalah orang-orang yang menyempatkan diri juga, tapi bedanya mereka menyempatkan diri untuk mencari-cari cacat pribadi Buya Syakur. Cacat pribadinya gagal ditemukan, mereka mengritik penafsiran dan pernyataan Buya Syakur dan menyimpulkan bahwa kiai ini beraliran liberal, sesat, maupun batal keislamannya, tanpa memandang bahwa kiai ini adalah ketua Bahtsul Masal -- yaitu lembaga kiai-kiai yang bertugas membahas masalah-masalah yang timbul di masyarakat -- Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Indramayu, Jawa Barat.

Memangnya apa sih yang diajarkan KH Abdul Syakur Yasin itu?

"Ajaran Islam Belum Sempurna"

Saya mulai dari kontroversinya. Yang paling mengemuka adalah pernyataan Buya Syakur bahwa ajaran Islam belum sempurna. Sekilas dengar, pernyataan ini terasa bertentangan dengan ayat terkenal dari Al-Qurn yakni ayat yang diturunkan terakhir (Q 5:3), "Al-yawma akmaltu lakum dnakum" ("Hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu"). "Bagaimana mau dikatakan sempurna," begitu kira-kiranya penjelasan Buya Syakur, "sedangkan di dalam Al-Qurn dan hadits Nabi tidak ada larangan perbudakan? Tapi apakah kamu mau menghidupkan lagi perbudakan? Kamu mau melanggar hak asasi manusia?"

Buya lantas mengingatkan bahwa Arab Saudi saja baru mulai tahun 1960-an melarang perbudakan di wilayahnya, itupun akibat desakan Amerika Serikat sebagai syarat bantuan memodernisasi militernya. Artinya pada abad 20, di Tanah Suci, perbudakan masih ada, sekalipun hampir 14 abad sebelumnya Al-Qurn sudah menegaskan kepada umat Islam untuk menempuh jalan yang lebih baik, yaitu membebaskan budak (Q 90:11-13), dan pembebasan budak ini menjadi sanksi bagi pelanggar-pelanggar hukum tertentu. Tapi berhubung orang Islamnya sendiri sudah keenakan punya budak, dan kitab suci dan hadits pun bicara mengenai budak, maka meskipun Arab Saudi sudah resmi melarang perbudakan, namun praktek ikatan kerja yang membelenggu pekerja bagaikan budak pun masih ada. Itu salah satu sebabnya Buya Syakur menyatakan bahwa ajaran Islam belum sempurna. Belum sempurna, karena Nabi Muhammad keburu meninggal dunia sebelum perbudakan itu sempat dilarang. Mengapa tidak langsung saja dilarang, mengapa harus menempuh jalan jauh membebaskan budak sebagai hukuman segala? Jawabannya adalah jika pembebasan seluruh budak dilakukan seketika, akan timbul masalah sosial-ekonomi yang terlalu besar di masyarakat Arab abad 7 itu: para majikan harus mengeluarkan biaya gaji yang sebelumnya tidak ada, akibatnya mereka hanya dapat mempekerjakan sedikit jumlah pekerja dibandingkan dengan jumlah budak sebelumnya; akibatnya banyak para mantan budak akan kesulitan mencari pekerjaan baru, mau pulang kampung tapi tidak punya uang, dst. Karena itulah pembebasan budak dilakukan bertahap, seperti halnya larangan minuman keras pun diturunkan bertahap: mulai dari pernyataan Allah bahwa di dalam minuman keras itu ada manfaat dan dosa tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya (Q 2:219), meningkat menjadi larangan Allah untuk melakukan shalat ketika mabuk (Q 4:43), dan diakhiri dengan perintah Allah untuk menjauhi minuman keras (Q 5:90-91). Nah, larangan minum minuman keras yang dampak sosial-ekonomi negatifnya minim pun itu dilakukan bertahap, apalagi perbudakan yang dampaknya lebih besar seperti telah ditunjukkan di atas! Tapi, sekali lagi, umat Islam sudah telanjur merasa untung dengan dilegalkannya perbudakan, maka lembaga perbudakan di dunia Islam lebih lambat dibubarkan daripada di dunia Kristen (Barat). Hanya ulama yang pandai, rasional, dan kontekstual sekaligus halus perasaan sufinya seperti Buya Syakur ini yang berani mengoreksi penafsiran agamanya sendiri.

"Saya Tak Akan Pulang Sebelum..."

Abdul Syakur Yasin lahir pada tanggal 2 Februari 1948 di Desa Tulungagung, Kecamatan Kertasemaya, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Sebagai anak keluarga kiai, Syakur remaja disekolahkan di Pondok Pesantren Babakan di Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, yang sudah berdiri sejak tahun 1715. Di sinilah Syakur muda tekun belajar agama Islam, bahasa Arab, dan mungkin juga tasawuf. Sebagai lulusan pesantren, Abdul Syakur bertekad melanjutkan studinya ke perguruan tinggi di Timur Tengah, maka ia berjuang untuk mendapatkan rekomendasi dari tokoh-tokoh ternama untuk bisa kuliah di sana. Dengan setengah keras kepala ("Saya tidak akan pulang sebelum mendapat surat rekomendasi."), Syakur berhasil mendapat rekomendasi dari tokoh nasional Nahdlatul Ulama yang juga Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, Subhan ZE. Maka pada tahun 1971 pemuda Syakur melenggang ke Iraq dan berkuliah di sana. Namun di tahun berikutnya ia pindah kuliah ke negara tetangga di sebelah barat Iraq, yaitu Suria (Syria), hingga 1974. Lanjut kuliah makin ke barat lagi, yaitu Libya, di Jurusan Adabiyat (Sastra) (S2), lulus tahun 1978. Gaspol, tahun itu juga dia memulai kuliah di Universit de Tunis, Facult des Lettres et des Humanits (Kulliyatul Adab wa 'Ulum al-Insaniyah, Fakultas Sastra dan Humaniora) (al-marhalah al-tsalitsah, S3). Pilihannya ke Tunisia juga ditunjang adanya lowongan kerja sebagai staf di KBRI yang baru dibuka di sana, meskipun tantangannya lebih berat dibandingkan di negara-negara Arab lainnya karena ada mata kuliah yang diberikan bukan dalam bahasa Arab, melainkan bahasa Prancis, bahasa bekas penjajahnya.

Dalam ceramahnya di depan Pengurus Cabang Istimewa NU Tunisia secara daring beberapa tahun yang lalu, Buya Syakur menceritakan betapa suasana Tunisia ini membuatnya betah. Mengapa? Karena dibandingkan negara-negara Arab yang telah dikunjunginya seperti Iraq, Arab Saudi, Suria, Mesir, dan Libya, hanya Tunisialah yang tradisinya mirip NU, dengan tahlilnya dan maulid Nabinya. Di samping itu, konstitusi Tunisia menyebutkan bahwa segala hukumnya bersumber dari Al-Qurn dan Hadits, tapi melarang poligami, menyokong kesetaraan gender, sehingga Tunisia dianggap negara sekuler oleh negara-negara Islam lainnya. Jalannya sejarah di antara negara-negara yang mengalami Rabi'ul 'Arabi (Arab Spring) tahun 2011, hanya Tunisialah yang mulus transisinya, sedangkan negara-negara Arab Spring lainnya masih kacau hingga sekarang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline