Lihat ke Halaman Asli

Batik SBY, Sebuah Memoar...

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sinilah saya membeli bahan Batik SBY

Setiap orang punya pencatat kenangannya masing-masing. Benda yang mencatat setiap kenangan terhadap seseorang yang dicintainya. Begitu juga dengan saya, benda itu adalah baju batik. Batik SBY.

Saya punya satu baju favorit. Baju batik dengan lurik daun-daun kecil berwarna coklat. Baju ini bukan baju sembarangan, karena ada nilai tersendiri dari batik cokelat yang hampir selalu saya kenakan itu. Ya, saya hampir selalu memakainya baik untuk ke kantor maupun untuk acara-acara resmi.

Bahan dari baju batik tersebut saya beli di Pasar Baru, Bandung. Harganya lumayan, buat saya yang waktu itu masih menyandang status mahasiswa. Tapi, bukan masalah harga yang ingin saya kemukakan di sini. Melainkan kenangan bahwa saya membeli bahan tersebut untuk membuat baju kembaran berdua dengan kekasih saya.

Ketika itu kami baru beberapa bulan menjalin hubungan, dan tidak jarang menerima undangan pernikahan dari teman, sahabat, bahkan rekan. Kebetulan, ada salah seorang sahabat baik saya yang hendak menikah. Pas. Akhirnya kami pun bersama pergi ke pasar baru untuk mencari bahan yang dimaksud.

[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Di sinilah saya membeli bahan "][/caption]

Setibanya di Pasar Baru, kami berkelana. Berpindah dari satu toko ke toko yang lain, berjejalan dengan ibu-ibu yang memborong banyak barang, dan sibuk tawar menawar harga kain yang kami taksir. Barangkali ada yang cocok. Namun, upaya yang kami lakukan terkadang menemui jalan buntu. Ada kain yang kami taksir, karena motif yang bagus dan material bahan yang enak dipakai, tapi harganya terlalu mahal untuk kantong kami waktu itu. Ada yang harganya sesuai dengan kantong, tapi corak dan kualitas bahannya tidak nyaman. Coraknya terlalu norak, bahannya gerah.

Perjuangan terus berlanjut sampai akhirnya kami berhenti di sebuah toko dan kami melihat bahan kain yang cocok. Kami meraba-raba bahannya, ternyata enak dipakai, tidak gerah. Kami pun kembali menanyakan harga. Ah, ternyata lagi-lagi harganya lumayan mahal (sekali lagi, buat ukuran kantong kami yang masih jadi mahasiswa saat itu). Tapi tidak mengapa, karena sudah capai berkeliling dan sudah tidak betah, akhirnya kami memutuskan untuk membeli bahan tersebut. Oh, kata Mbak-Mbaknya yang jual, postur saya yang bongsor persis SBY dengan batik itu. Saya pun hanya bisa terkekeh mendengarnya.

Beberapa hari kemudian kami pergi ke tukang jahit, dan beberapa hari kemudiannya lagi, sepasang baju kembar sudah ada di tangan. Siap dipakai untuk menghadiri perhelatan sahabat baik saya itu. Dan akibat omongan si penjual batik, baju kembar milik saya dijuluki sebagai Batik SBY. Hehehehe.

Ketika hari H, kami pun kompak memakai baju kembar. Sontak teman-teman KKN yang pada waktu itu juga ikut datang, menyoraki kami karena memakai baju kembar. Mereka bilang, “Eh, lo pada jadian ya? Kapan? Kok gak bilang-bilang sih?” Ya, memang yang menjadi pacar saya adalah teman KKN saya sendiri. Dari sekadar cinta lokasi, tapi terus berlanjut. Kami pun sengaja tidak bicara sepatah kata pun tentang kami yang berpacaran. Hanya teman dan sahabat dekat saja yang kami beri tahu. Itu pun juga tidak langsung, baru sekitar 2-3 bulan kemudian kami beri tahu. Dan ketika teman-teman yang lain bertanya, waktu itu kira-kira sudah bulan ke-9 sejak saya menyatakan cinta pada wanita idaman saya itu.

Akhirnya, kami berdua pun mengaku kalau pada waktu itu sudah jadian selama 9 bulan (mudah-mudahan saya tidak salah ingat). Mendengar hal itu, mereka pada termangu. Ada yang melongo, ada yang mulutnya menganga, ada yang menepuk kening kepala, ada yang sumringah. Tak lama kemudian, mereka semua pada kompak bilang “TRAAKTIIIIR!!!!!” dan “PE-JEEEEE!! PE-JEEEEE!!” Suara riuh rendah.

Acara pun kami lanjutkan. Dari tempat pernikahan sahabat saya di Ciwidey, kami lanjut ke Kawah Putih. Tapi sayang, harga tiket masuknya mahal sekali. Bisa kering kantong kami kalau dipaksakan. Mau patungan dengan teman-teman yang lain pun, mereka bawa uang pas-pasan. Akhirnya, daripada pulang menggelandang, kami membatalkan rencana ke Kawah Putih tersebut.

Seolah tak hilang akal, mereka kembali bilang, “Ciwalk! Ciwalk! Ayo kita ke Ciwalk!” Akhirnya kami pun pergi ke Ciwalk, dan mereka ditraktir makan di KFC. Sebenarnya kami sempat bingung, karena takut jumlah uang yang kami bawa tidak cukup. Tapi beruntung, ada salah seorang kawan yang pada saat itu berulang tahun. Adit namanya. Lagi-lagi, mereka bilang, “TRAKTIIIR! Ulang tahuun! Ulang tahuun!” Kami hanya bisa geleng-geleng. Dengan bantuan finansial dari Adit, akhirnya kami bisa selamat dari acara traktiran. Uang memang berkurang, tapi hati rasanya senang dan keakraban kami tertempa kembali.

Nah, begitulah ceritanya mengapa saya bisa bilang baju batik ini istimewa. Dengan perjuangan yang kami lakukan dalam mencari bahan batik tersebut, rasanya sulit untuk melupakan pengalaman itu. Karena baju batik ini pula, kami berdua harus ‘mengaku dosa’ kepada teman-teman KKN yang lain. Yang berujung pada kami harus mentraktir mereka makan sebagai Pajak Jadian dan kami di-“cie-cie” sepanjang jalan.

Mungkin, orang bilang itu adalah pengalaman yang sederhana. Tapi buat saya itu luar biasa. Mungkin, orang bilang batik yang saya kenakan itu biasa saja. Tapi buat saya batik ini tiada duanya. Mengapa? Dengan keadaan saya yang sedang merintis hidup di Jakarta dan dia yang kini sedang menuntut ilmu di Program Pascasarjana di Bandung, baju ini menjadi salah satu memoar.

Memoar yang mencatat setiap kenangan saya bersamanya ketika awal-awal pacaran dulu (bahkan sampai sekarang). Memoar, yang selalu mengingatkan saya tentangnya. Memoar, yang membuat saya merasa bahwa dia selalu berada di dekat saya. Memoar, yang mampu meredam hasrat saya terhadap anak Hawa yang lainnya. Memoar, yang mengingatkan saya agar tidak melukai hati, perasaan, dan kepercayaannya. Memoar, yang membuat saya tersadar bahwa ada satu anak Hawa pilihan, yang setia menunggu saya. Dia adalah anak ketiga dari mendiang Bapak Irbayuno Muchtar, yang kini sedang menempuh pendidikan pascasarjana di sebuah universitas di Bandung.

Bagaimana kisah kami ke depannya? Terkait hal itu, kami hanya bisa meminta yang terbaik. Dan pastinya, baju batik ini akan terus setia menemani kami untuk mencatat kisah-kisah kami yang berikutnya.

Ps. Love you, Bun. :)

Sumber gambar:

http://3.bp.blogspot.com/-Do4Yd4UUrEA/TrpOyfXtVVI/AAAAAAAABcs/WBwEB9Y7C7w/s1600/pasar-baru-bandung.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline