Lihat ke Halaman Asli

Dhany Wahab

Lembaga Kajian Komunikasi Sosial dan Demokrasi [LKKSD]

Pilkada dan Pendidikan Pemilih

Diperbarui: 31 Mei 2020   09:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

republika.co.id

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak akan berlangsung di 270 daerah pada 9 Desember 2020. Sedianya pemilihan digelar pada bulan September, namun diundur hingga akhir tahun karena pandemi Covid-19. Pada tahun ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga mencanangkan program pendidikan pemilih berkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan literasi pemilu dan demokrasi.

Pendidikan pemilih berkelanjutan merupakan investasi jangka panjang yang penting untuk dilakukan. Khususnya kepada para pemilih pemula yang baru pertama kali menggunakan hak politiknya dalam pemilu atau pemilihan.

Pemilihan 2020 diproyeksikan melibatkan lebih dari 105 juta pemilih, termasuk pemilih pemula yang baru berusia 17 tahun pada 9 Desember 2020 bertepatan hari pencoblosan. Sementara data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat ada 5.035.887 orang pemilih pemula pada Pemilu 2019 yang masuk dalam Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4).

Pemilih sebagai pemegang kedaulatan rakyat mempunyai peran yang sangat sentral dalam pelaksanaan demokrasi elektoral. Terlepas dari apapun yang mempengaruhi, ketika seorang pemilih berada di bilik suara, ia memiliki otoritas untuk menentukan pilihan. Proses pemberian suara yang durasinya tidak lebih dari lima menit sangat krusial bagi pemilih agar bisa mencoblos pilihannya secara cerdas dan rasional.

Pendidilkan Pemilih memang seharusnya dilakukan secara kontinyu sepanjang tahun sebagai upaya peningkatan kesadaran berpolitik bagi warga negara. Selama ini masyarakat baru membutuhkan informasi seputar pemilu atau kandidat yang akan dipilih menjelang diselenggarakan pesta demokrasi.

Sejatinya partai politik mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan politik kepada konstituennya secara regular. Namun karena terbatasnya sumberdaya seringkali parpol hanya melakukan sosialisasi pada masa kampanye atau saat injury time.

Mencermati praktik pemilu di masa orde reformasi yang kental terasa justeru liberalisasi politik. Hal ini ditandai dengan munculnya beragam partai politik dalam waktu yang relatif singkat. Pembentukan partai politik seakan-akan menjadi alasan utama para politisi membangun kualitas demokrasi.

Padahal pada masa transisi demokrasi saat ini yang terjadi distribusi kekuasaan menyebar ke berbagai penjuru, praktik korupsi semakin merebak, regulasi dan institusi semakin menguat, merajalelanya praktik suap, pemotongan anggaran, pemerasan dan korupsi dilakukan sejak perencanaan (ICW, 2020)

Fenomena tersebut yang menimbulkan munculnya apatisme politik ditengah masyarakat dan merosotnya kepercayaan publik kepada partai politik dan penyelenggara negara. Jika hal ini tidak segera diatasi bisa berdampak kepada disintegrasi bangsa. Adakah praktik demokrasi yang dijalankan selama ini dapat menghadirkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh warga negara?

Peran pemilih dalam praktik demokrasi elektoral sangat penting, karena satu suara (one man one vote) dari manapun datangnya, dari rakyat jelata atau pajabat sangat menentukan masa depan bangsa. Untuk itu pendidikan pemilih berkelanjutan sangat relevan dengan pembangunan kualitas sumber daya manusia dan indeks demokrasi di Indonesia.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 pasal 198 ayat (1) menyebutkan; Warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih. Ketentuan ini yang seharusnya menjadi patokan dalam merumuskan sasaran pemilih untuk melakukan edukasi politik secara berkelanjutan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline