Assalamu’alaikum, sobat hubbul hikmah.
Dalam riwayat sejarah idul adha yang dilakukan oleh umat islam hingga saat ini, pastinya tak dapat dipisahkan dari asal muasal penyembelihan hewan kurban yaitu kisah dimana nabi Ibrahim Alaihi al-Salaam bermimpi menyembelih putranya. Yang pada akhirnya, sang anak yang sudah mengikhlaskan diri untuk disembelih atas dasar keyakinan bahwa mimpi tersebut adalah berasal dari Allah Subhaanhu wa Ta’aalaa digantikan dengan hewan sembelihan.
Terlepas dari pertikaian sosok putra yang hendak disembelih oleh nabi Ibrahim Alaihi al-Salaam, antara nabi Ismail dan nabi Ishaq Alaihimaa al-Salaam, terdapat hikmah yang patut kita petik dari kisah yang diabadikan dalam Al-Qur`an surat Ash-Shaffat ayat ke-102 hingga 105 tersebut.
Yaitu menanamkan sikap skeptis pada diri kita, khususnya terhadap maraknya informasi palsu (HOAX) yang sangat mudah beredar di jejaring sosial. Maksudnya ialah tetap waspada terhadap kebenaran informasi yang didapatkan, terlebih informasi yang tidak jelas sumbernya. Sikap skeptis ini mampu menghindarkan kita dari taqlid buta atau mengikuti dan memercayai informasi dari orang lain tanpa memverifikasi kebenarannya.
Dalam kisah yang telah penulis rujuk di atas, nabi Ibrahim Alaihi al-Salaam tidak serta-merta langsung memercayai kejadian yang disampaikan melalui mimpinya. Beliau meragukan kebenaran tersebut bahwa bisa jadi mimpi tersebut hanyalah sebuah bunga tidur atau bahkan gangguan dari syaithan. Hingga tatkala beliau mengalami mimpi yang sama di tiga malam berturut-turut, beliau menjadi yakin bahwa mimpinya bukanlah bunga tidur semata, melainkan pertanda dari perintah Tuhannya.
Kemudian hikmah berikutnya adalah agar kita bermusyawarah untuk mengklaim kebenaran informasi dan tidak secara sepihak. Sebagaimana dalam Al-Qur`an surat Ash-Shaffat ayat ke-102 bahwa nabi Ibrahim Alaihi al-Salaam meminta pendapat kepada anaknya perihal mimpi yang ia dapati. Maka dengan sabar dan ikhlas, putranya meyakini bahwa yang disampaikan melalui mimpi ialah wahyu Tuhan yang diturunkan kepada ayahnya selaku nabi dan bukanlah sekedar bunga tidur apalagi gangguan dari syaithan.
Sang anak pula meyakini bahwa Tuhan memiliki otoritas kebenaran yang mutlak di segala bidang. Berbeda dengan manusia yang alangkah baiknya dan lebih dapat diyakini sebuah informasi disampaikan oleh sosok yang memiliki kompeten di bidangnya masing-masing.
So, masih bakal mudah percaya dengan informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya?
Wa Allahu A’lam bi al-Shawaab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H