Lihat ke Halaman Asli

Dhani Sugesti

Penulis Sastra

Perjalanan Api - 2 (Prosais)

Diperbarui: 14 Mei 2019   11:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sebab cinta, api tak mampu membakar Abraham. Semuanya hanya dunia materi, sedang cinta adalah api abadi, yang dinyalakan Tuhan, pada tungku jiwa-jiwa orang beriman, untuk berbicara pada Tuhan dengan isyarat makna, seperti Musa di atas Sinai. Jilatan api-Nya menjadi petanda, tentang 10 hukum kausalita untuk kebahagiaan manusia.

Kau berhak tertawa bahagia di malam-malamku, meski tak mampu kujanjikan rembulan, agar senantiasa memancar di kedua bola mata indahmu itu, namun kupastikan, akan sedikit hujan jatuh ke tanah merah, sebab jemariku akan selalu menyeka, menggantikannya dengan pelangi senyuman cinta tulusmu itu.

Aku; percaya, setiap kali matahari terbit, melangitkan harapan baru, tentang hidup damai sejahtera, keindahan berbagi secuil roti, akan tetap kita sajikan di meja kayu di beranda hati kita, meski jasad telah tergerus waktu menjadi renta.

Beranilah, Sayang. Hadapi kenyataan yang telah Tuhan guratkan. Setiap langkah kebaikan, pasti akan dipenuhi cahaya keberkahan yang diridhai Tuhan juga manusia. Semua tercatat rapi di Lauh Mahfud, bahwa kita ditakdirkan seiya sekata, satu hati dalam api cinta-Nya, menjadi cahaya di atas cahaya, dan sejatinya, kita layak hidup damai bahagia sampai ke surga.

Aminkan setiap kedip bintang-bintang di malam ini. Ia telah menyimpan banyak rahasia di atas rahasia, tentang kejaiban tanpa anulir, tentang keluasan cakrawala hati dan pikiran kita, bertautan, dan saling menyemogakan.

Sebenarnya aku ingin terus menulis tentang Api-Mu, tapi mataku tak sanggup menatap begitu lama, ada waktu di mana jasadku meminta rehat, tuk hari esok lebih bersinar, damai bahagia di antara gelisah camar, riuh ramai bertaluan, dalam dekapan semurat cahaya matahari yang tetap setia mengabdi.

Percayalah, cinta akan buat hidupmu bahagia. Masihkah kau palingkan muka? Sedang daun dan ranting senantiasa menunggu giliran, kapan dimatangkan, dan kapan merangas kering, lalu jatuh ke hariban Bumi tercinta ini. Dan kita adalah keniscayaan pasti.

Saat aku menjadi api, dan kau pun terbakar
Saat kau menjadi api, dunia tersadarkan
tanpa cahaya, kemana mereka pulang?

Biar mimpi menjadi bukti
Hidup harus disyukuri
semua pasti terjadi
Semua pasti kembali
hanya pada-Nya kita mengabdi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline