"Tidak! Aku merasa tidak enak untuk mengoreksinya karena dia terlalu baik kepadaku"
Kalimat di atas adalah salah satu manifestasi dari ketidaknyamanan yang kita rasakan ketika merasa terdorong untuk mengoreksi kekeliruan orang lain, tapi karena adanya faktor X, membuat kita mengurungkannya. Rasa tidak nyaman dapat hadir dalam pelbagai bentuk dan kondisi, Namun satu hal yang dapat kita pastikan dari rasa itu, bahwa hampir semua orang pernah berhadapan dengannya.
Terkadang, demi menghindari dorongan untuk mengoreksi kekeliruan orang lain, kita berlindung di balik sikap abai. Sikap ini pada dasarnya merupakan upaya defensif yang kita lakukan untuk membentengi diri dari dorongan tersebut. Upaya ini lazimnya kita lakukan agar timbul anggapan bahwa abai terhadap dorongan tersebut adalah suatu kewajaran dan sah-sah saja. Namun terkadang pula pengabaian ini justru dapat berubah menjadi beban tersendiri bagi kita. Hal ini disebabkan karena secara naluriah manusia senantiasa terdorong oleh doktrin-doktrin positif yang bersumber dari dalam dirinya untuk segera memperbaiki suatu kekeliruan.
Abai terhadap orang yang telah membuat suatu kekeliruan adalah sebuah bentuk kekeliruan lainnya. Disadari atau tidak, ketika kita bersikap abai, maka kita sudah melakukan kekeliruan terhadap diri sendiri. Selain itu, pengabaian ini secara tidak langsung dapat pula membuat orang yang telah membuat kekeliruan itu terjerumus semakin dalam ke jurang tanpa dasar.
Sebagai makhluk bergelar manusia, sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk saling menasehati antar sesama kepada jalan kebenaran. Secara lahiriah, semua manusia berkeinginan untuk berjalan pada jalur kebenaran. Doktrin tentang adanya surga dan neraka menjadi faktor penyebabnya. Namun, seiring waktu keinginan itu dapat bertransformasi menjadi kebalikannya karena kehadiran pelbagai godaan dan tekanan dalam kehidupan.
Harus diakui bahwa kekeliruan dapat membawa kerugian, baik bagi pelakunya maupun bagi orang lain. Hal ini dikarenakan kekeliruan mengakibatkan pelakunya tersesat. Secara singkat, Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata "tersesat" sebagai salah jalan. Bayangkan jika seandainya Anda dan salah satu teman Anda hendak menuju ke Kota D, dan karena salah teman Anda merasa dan mengira benar-benar tahu jalan menuju ke sana, kemudian memutuskan berangkat ke sana tanpa bantuan peta digital dan lebih parahnya lagi, sepanjang perjalanan, Anda berdua enggan bertanya arah menuju kota itu kepada orang lain. Kira-kira apa yang akan Anda dan teman Anda dapat?
Kebenaran adalah tentang arah yang tepat. Dengan mengetahui arah yang tepat, maka kita akan digiring pada kebenaran. Jika kita sudah sampai pada kebenaran itu, niscaya kita akan beroleh kebaikan. Menyoal tentang kebenaran, maka menyoal pula tentang tujuannya. Bukankah tujuan dibuatnya aplikasi peta digital seperti Google Maps atau semacamnya adalah demi kebaikan? Tentu saja. Dengan beroleh panduan arah yang tepat dan jalan yang benar dari aplikasi itu, maka dapat dikatakan bahwa kita sudah beroleh manfaat dari aplikasi itu. Dan, setiap hal yang bermanfaat sudah tentu merupakan sebuah kebaikan bagi kita.
Mendorong diri untuk mengoreksi sebuah kekeliruan bukanlah hal yang gampang. Terkadang, untuk mengoreksi diri sendiri saja seringkali kita merasa kesulitan, apalagi untuk mengoreksi kekeliruan yang dilakukan oleh orang lain. Modal utama agar dapat mengoreksi kekeliruan adalah kesiapan mental dan kematangan emosi jiwa. Mental dan emosi merupakan dua aktor utama yang memainkan peranan penting dalam karakter manusia. Menyiapkan mental dan mematangkan emosi sama halnya dengan upaya untuk menempatkan karakter kita berjalan pada jalan yang tepat. Namun, menyiapkan mental dan mematangkan emosi itu sendiri bukan hal yang mudah.
Menyiapkan Mental dan Mematangkan Emosi Jiwa
Mental dan emosi dasar jiwa kita semula terbentuk secara alami. Proses pembentukan ini mulai terjadi sejak kita masih kecil melalui interaksi dengan keluarga dan orang-orang terdekat serta lingkungan sekitar kita. Seiring dewasanya kita, maka area cakupan interaksi itu pun semakin meluas sehingga membentuk mental dan emosi kita ke level selanjutnya.
Munculnya pelbagai tekanan dalam kehidupan sangat memengaruhi pembentukan mental dan emosi manusia. Hal ini dikarenakan sebagian besar dari kita menganggap bahwa tekanan hidup sebagai beban. Padahal, kalau saja dikontemplasikan lebih dalam, maka tekanan itu dapat bertransformasi menjadi faktor pemicu bagi kesuksesan kehidupan kita.