Lihat ke Halaman Asli

Dhamar Gautama

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan Assistant Research Fellow Human Rights Law Studies nyambi Director film di Lopus FIlm House

Islam, Rasisme, dan Militerisme Brutal di Papua

Diperbarui: 23 Maret 2024   12:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Islam dan Kemanusiaan

Islam memiliki nilai yang universal dan menempatkan kemanusiaan dalam posisi sangat mapan pada ajaran yang dikandungnya. Islam sendiri turun untuk menjadi penuntun umat manusia dalam menjalankan kehidupan di dunia--tentu dengan nuansa transedental yang berpusat pada Tuhan. Sebagaimana alasan Nabi Muhammad diutus sebagai Rasul adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia (Innama bu'itstu li utammima makarimal akhlaq). Penyempurnaan akhlak tersebut memiliki orientasi pada pembebasan manusia dari tindakan-tindakan jahat dan keji yang bersifat destruktif. Artinya, gagasan yang dibangun adalah gagasan menjadikan manusia menjadi makhluk yang memiliki tindak-tanduk baik dan memiliki amal shoilih dalam perannya sebagai makhluk yang disebut manusia. Hal itu ditujukan pada seluruh manusia (an-nas), bukan sekelompok manusia saja.

Manusia dalam menjalankan ajaran Islam sendiri memiliki dimensi hubungan vertikal dan horizontal (Hablu min Allah, Hablu minan Nas). Hubungan vertikal terejawantah dalam penyembahan melalui ritual keagamaan pada Tuhan sedangkan dimensi horizontal yakni bagaimana manusia berhubungan dengan manusia lain atas dasar beriman kepada Tuhan. Kehorizontalan tersebut menuntut manusia untuk berlaku baik kepada manusia lain.

Dalam konteks Papua, manusia lain tersebut adalah orang Papua itu sendiri. Orang Papua atau Orang Asli Papua adalah orang-orang asli suku Papua yang hidup sejak jaman leluhur dan hari ini ketika konsep nation state berkembang, orang-orang tersebut termasuk bagian dari Indonesia--sekalipun melalui proses integerasi yang culas. Namun, agama Islam melampaui sekat-sekat domestik negara karena merupakan nilai universal yang menyasar umat manusia. Dengan demikian, segala problem sosiologis-antropologis di Papua, sangat bisa dibaca dari kacamata Islam.

Terlebih, terdapat setidaknya dua masalah besar yang dihadapi orang asli Papua hari ini yakni rasisme dan militerisme. Ingatan paling kuat terkait rasisme adalah ketika peristiwa penyerangan aparat terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Aparat tersebut meneriaki monyet kepada mahasiswa dengan nada yang sangat merendahkan. Pun, kasus militerisme banal terjadi di Papua bahkan sejak Papua belum bergabung dengan Indonesia. Sejarah mencatat, milliterisme menciptakan kekerasan yang masif seperti pembunuhan di luar hukum. Amnesty International Indonesia melaporkan bahwa terdapat 95 kasus pembunuhan warga sipil di luar hukum dari tahun 2018 hingga 2021.

Kedua masalah pelik tersebut menjadi liquid bagi pengkerdilan kemanusiaan di Papua. Alih-alih bebas dan merdeka sebagai manusia, rasisme dan militerisme menjadikan orang asli Papua sebagai kelompok yang rentan mengalami kekerasan dan termarjinalkan. Tindakan tersebut tentu bertolak belakang dengan semangat Islam sebagai agama pembebasan. Sebuah agama yang membebaskan manusia dari jerat ketertungkungan dan penindasan. Lalu, bagaimana sebenarnya Islam melihat dua masalah tersebut?

Rasisme dan Militerisme Brutal menurut Islam

Terdapat 4 akar masalah di Papua menrurut LIPI yakni 1. Sejarah dan status politik integrase Papua ke Indonesia; 2. Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian; 3. Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri; 4. Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua. Namun, Rasisme dan Ketidakadilan sebagai sumber akar masalah butir 1-4 (Socratez: 2021).

Rasisme hadir menyasar orang asli Papua dengan begitu masif dan sistematis. Mereka dianggap rendah dan dirupakan sebagai monyet hanya karena kulit mereka berwarna hitam dan berambut keriting. Rasisme tersebut datang dari sesama warga sipil yang berbeda ras dan warna kulit terutama kulit yang lebih cerah sabagaimana rasisme di Eropa--karena kondisi poskolonial turunan Belanda.

Bahkan, rasisme dilakukan oleh negara melalui hukum dan aparaturnya seperti pada pembungkaman ekspresi politik orang Papua dengan pelabelan makar seperti yang dialami oleh Victor Yeimo, seorang aktivis Papua yang ditangkap setelah melakukan demonstrasi anti rasisme sebagai respon rasisme mahasiswa Papua di Surabaya pada 2019. Padahal Ia hanya menggunakan hak kebebasan berpendapat yang dilindungi. Pemidanaan seorang Victor tentu tak lepas dari pikiran politik untuk membungkam suara orang Papua. 

Berkaitan dengan konteks rasisme, Islam memiliki pandangan yang jelas dalam penolakan terhadap rasisme dan ketidaksetaraan. Q.S. Al-Hujurat Ayat 13 menyebutkan bahwa, "Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa." Ayat tersebut menegaskan bahwa Allah memang sengaja untuk membuat manusia menjadi beragam secara ras, warna kulit, dan suku bangsa serta perbedaan lainnya agar saling mengenal. Artinya, keberagaman adalah suatu kenyataan dan semua berada pada tataran derajat sama. Kemudian terdapat hal yang membedakan adalah taqwa. Ketaqwaan, dan bukan sekadar warna kulit atau bentuk rambut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline