Label 'queen bee syndrome' ini layaknya ratu lebah yang punya kuasa untuk menyingkirkan atau menjadi penghalang dari lebah lainnya.
T. E. Jayarante, C. Tavris dan G. L. Staines (1973) mencetuskan istilah queen bee syndrome sebagai gambaran dari perempuan yang mendiskriminasikan perempuan lainnya karena merasa lebih unggul, baik soal penampilan, kecerdasan, jabatan, ataupun status sosial. Kalau zaman sekarang, mirip dengan pick me girl syndrome kali ya, yang merasa diri seorang perempuan berbeda dari lainnya dengan cara merendahkan (merendahkan gendernya sendiri) untuk bisa menarik perhatian orang lain.
Queen bee syndrome ini sering terjadi di tempat kerja karena merasa perempuan yang bisa sukses dalam hal pekerjaan telah bisa mengalahkan posisi yang sulit untuk ditembus oleh perempuan pada umumnya atau "glass ceiling". Sehingga, gak heran perempuan dengan karier yang sukses pun perlu diapresiasi. Cara memimpin pekerjaannya pun cenderung agresif, bossy, sombong, atau bahkan menghalangi rekan kerja perempuan lainnya untuk berkembang.
Dilansir dari bbc.com, salah satu gambaran dari queen bee syndrome ini terjadi pada Perdana Menteri perempuan pertama Inggris Margaret Thatcher yang enggan mempromosikan karir perempuan lain di kabinetnya.
Kata-kata "aku tidak seperti perempuan lain, aku lebih sukses, ambisius." menjadi gambaran bahwa perempuan dengan queen bee syndrome mengatasi bias gender dengan menunjukkan bahwa dirinya lebih dan berbeda dari perempuan lain. Hal ini sebenarnya pembuktian akan eksistensi kepada para laki-laki, dengan menjauhkan diri dari perempuan lain sehingga bersikap lebih maskulin dengan anggapan sebagai kunci kesuksesan karir.
Syndrome ini juga diakibatkan dari stereotipe yang sering terjadi pada kaum perempuan atas ketidaksetaraan gender yang menyebabkan perempuan harus berusaha berkali-kali lipat untuk bisa menempati posisi yang minimal setara dengan laki-laki (Profesor Naomi Ellemers, Profesor Psikologi Sosial di Universitas Utrecht). Padahal menurut pemikir politik perempuan Hannah Arendt pun menjelaskan bahwa kekuasaan khas perempuan yang mengedepankan nilai-nilai feminin harus terus diterapkan sebagai penyeimbang bagi dominasi kekuasaan laki-laki (Arendt, 1958). Nyatanya, kesuksesan perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya dengan bekerja di wilayah publik dan mendapat penghasilan yang layak pun bisa berdampak pada diskriminasi pada gendernya sendiri.
Meskipun queen bee syndrome ini masih kontroversial, sebab kesetaraan gender pun masih dipromosikan hingga saat ini. Namun, untuk memecahkan syndrome ini tidak hanya diselesaikan dengan memperbaiki kaum perempuan. Tetapi juga, bagaimana menciptakan lingkungan kerja yang suportif dengan menghilangkan bias gender di dalamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H