Lihat ke Halaman Asli

Nahariyha Dewiwiddie

TERVERIFIKASI

Penulis dan Pembelajar

Gelar Pahlawan Nasional dan Tradisi Ilmiahnya

Diperbarui: 10 November 2020   16:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Joko Widodo (tengah) bersama Wakil Presiden Maruf Amin (kedua kanan) dan Menteri Sosial Juliari Batubara (kiri) berjalan bersama saat akan melakukan tabur bunga usai Upacara Ziarah Nasional di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Jakarta, Minggu (10/11/2019) (ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA)

Setiap tahun, selalu lahir pahlawan-pahlawan baru. Tak terkecuali pada tahun ini.

Bahkan, sepanjang era Pemerintahan Jokowi telah berhasil "menelurkan" pahlawan-pahlawan yang belum ada sebelumnya. Sebut saja Raden Mattaher, Depati Amir, dan Ibu Agung Andi Depu.

Dan di rezim itulah, juga "menghidupkan" pahlawan yang terlupakan namun telah tercatat sejarah macam Malahayati dan Sultan Baabullah.

Nah, apa gelar-gelar tersebut diperoleh secara langsung? Oh, sayangnya bukan begitu.

Tidak mungkinlah gelar Pahlawan Nasional didapat tanpa bukti. Dengan kata lain, perlu suatu kajian yang diserahkan kepada Kementerian Sosial untuk menyatakan bahwa sosok dan nilai kepahlawanan yang melekat pada dirinya itu, benar-benar ada.

Maka, di situlah ilmu sejarah diperlukan untuk memainkan peranan di dalamnya. Kalau beberapa bulan yang lalu lagi "ribut-ribut" mata pelajaran tersebut akan dihapus di sekolah-sekolah, harusnya mereka merenung dan mengandaikannya;

Kalau tidak ada sejarah, yang hidup di masa kini bakal kebingungan karena tak ada panduan dari orang-orang dahulu!

ADA TIDAKNYA BUKTI, MENENTUKAN EKSISTENSI SANG PAHLAWAN

Memang, diriku memang bukan ahli sejarah, namun akhir-akhir ini, saya gemar baca bermacam-macam berita tentang pengusulan gelar Pahlawan Nasional dari berbagai daerah. Dari itulah ditarik benang kesimpulannya; "Oh, memang seperti itu!"

Tapi, nasib pengusulannya berbeda-beda. Ada yang langsung diterima, ada yang harus menunggu bertahun-tahun sampai ganti presiden, baru bisa diterima, parahnya lagi, ada pula yang ditolak, bahkan sampai saat ini!

Rata-rata, usulan yang ditolak, itu disebabkan oleh kurangnya bukti. Minimal, ada bukunya. Peninggalannya. Bukti jejaknya. Kalau tak punya itu, mana mungkin bisa diajukan?

Karena itulah, benarlah jika buku itu mengantarkannya pada keabadian. Akan terus dikenang sepanjang waktu, apalagi yang menuliskannya itu adalah sang tokoh yang diusulkan jadi calon pahlawan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline