Lihat ke Halaman Asli

Nahariyha Dewiwiddie

TERVERIFIKASI

Penulis dan Pembelajar

Benar, Kompasiana (Bukan Lagi) Etalase Warga Biasa!

Diperbarui: 6 Oktober 2017   18:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Credit Foto dari artikel Pak Susy Haryawan

Jika ada orang yang menyatakan bahwa buku adalah warisan bagi orang yang ditinggalkannya, itu benar sekali. Setidaknya, inilah yang kami rasakan---para murid Kompasiana setelah sepuluh bulan ditinggal sang pendirinya.

Sebagai narablog sekaligus murid Kompasiana, tentu pada zaman itu sebagian besar dari kami sempat merasakan "dipimpin" oleh kang Pepih walaupun banyak yang tak secara langsung. Kecerdasan beliau, inovasi dan hubungannya kepada anggotanya lewat interaksi nyata dan tulisannya begitu "menyentuh" hati. Magis!

Kini, kang Pepih memang telah "tiada", meninggalkan dunia Kompasiana. Bukan tiada karena pergi ke alam baka, melainkan memilih hidup ke dunia lain, membangun dan mengurus "sesuatu" di luar sana.

Lantas, apa warisan dari beliau yang begitu menyejarah dan paling berkesan bagi kami? Ya, buku Kompasiana, Etalase Warga Biasa!

***

Beberapa hari yang lalu, saya kembali membuka buku sejarah tentang Kompasiana itu. Padahal, dua tahun yang lalu saat diriku masih berstatus murid baru di sini, saya sudah meng-khatam-kan seluruh isi bukunya.

Lagi pula, karena sudah banyak yang meresensi tentang hal itu, ngapa pula harus diceritakan ulang?

Eitts.... jangan salah. Karena kita hidup di bawah kepemimpinan berbeda, apa salahnya kalau saya ingin bernostalgia kembali bersama pendirinya, iyaa 'kan?

Ketika membaca halaman-halamannya, saya merasakan dalam imajinasiku, terbayang akan suasana kantor kala kang Pepih masih ada. Punya keinginan untuk membuat platform di mana jurnalis menuangkan gagasannya setelah beberapa tahun sebelumnya mendalami dunia bloggingdan media sosial. Tapi, beliau sempat bingung, mau memberikan nama apa.

Kompasiana! Ya, nama inilah yang dipilih oleh Budiarto Shambazy, lalu disetujui oleh semua anggota rapat. Namun, usulan beliau harus dikaji ulang oleh kang Pepih. Ya, bagaimana tidak, hal itu "berat" baginya karena membawa nama besar KOMPAS yang dikenal tulisan beritanya kaku dan sangat berwibawa.

Akan tetapi, setelah menelusuri lebih jauh, ternyata usulan tersebut benar adanya. Nama tersebut inilah yang berasal dari salah satu kolom yang diisi oleh PK Ojong (yang kini telah dibukukan), di antara era 1960-1970-an. Gaya tulisan yang ditampilkan "sangat mencolok" di antara tulisan-tulisan Harian Kompas yang cenderung baku, yaitu menggunakan gaya bahasa ala ngeblog seperti yang dijumpai banyak blog zaman sekarang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline