Lihat ke Halaman Asli

Nahariyha Dewiwiddie

TERVERIFIKASI

Penulis dan Pembelajar

Dua Trauma Pahit yang Mendidikku untuk Bersopan-Santun

Diperbarui: 10 September 2016   11:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Tidak selamanya setiap anak manusia mendapatkan kebahagiaan terus-menerus. Ada masa dimana ada kepedihan dan kesedihan di hati. Tentu, itu hukum sunnatullah yang pasti akan terjadi, tak peduli orang itu kaya maupun miskin—kaum bagsawan dan rakyat jelata pun semuanya akan merasakan hal yang sama. Senang dan sedih. Tuhan memang Maha Adil!

Dan, itulah yang telah saya terjadi. Memang saat itu takdir buruk telah menimpa kepada saya, dan saya tidak kuasa menolaknya. Tapi, agak tabu bagi saya untuk menceritakannya di sini—di Kompasiana—karena perasaan yang (agak) pemalu untuk diumbar masa lalu saya ke publik. Tapi, yang berlalu, biarkan berlalu, yang penting pelajaran ‘kan yang masih tersisa, untuk semua?

***

Memang zaman sekarang ini, yang bisa dibilang zaman edan. Ditengah kemajuan teknologi yang merajalela, ternyata mampu mengikis moral manusia zaman modern yang bersemayam di jiwanya! Lihat saja, manusia modern yang sebegitu mudahnya berbuat asusila, menghina, dan menuliskan pesan yang buruk. Contoh terkini ya, seorang dosen pencipta drone, yang dijebloskan ke penjara, hanya kata-kata l**te di tweet-nya!

Jauuuh sebelum berita penghinaan di media sosial menyebar kemana-mana layaknya debu, saya telah terlebih dahulu merasakan pedihnya hati saya karena kata-kata pedas terhadap teman-teman saya di facebook semasa saya duduk di bangku SMA. Saat itu, saya bergabung di facebook belum sampai satu bulan, empat tahun lalu. Dan, itu terjadi pada November tahun 2011.

Berawal dari perlakuan saya yang mengharuskan saya duduk sendiri di bangku belakang, padahal saya duduk bersama salah seorang teman, menyebabkan saya menangis saat guru menerangkan di depan kelas—sampai sampai saya keluar kelas sendirian. Ya, mungkin saya kurang memiliki rasa berjiwa besar. Pulang sekolah, saya langsung mengatakan protes dengan kata-kata kasar. Dan beberapa teman sekelas sampai dilibatkan dalam percakapan itu!

Gara-gara hal itulah, saya menangis dengan rasa perih di hati dan menerima kenyataan, saya dimusuhi oleh seluruh teman sekelas. Tapi untung, seingat saya melakukan hal yang sekasar itu lewat pesan. Jika ketahuan pada publik, betapa sakitnya hati saya, berlipat ganda. Dan ujung-ujungnya, saya masuk jeruji dan tidak bisa menikmati indahnya hidup!

Setelah melakukan penyelesaian masalah oleh pihak keluarga dan pihak sekolah, saya duduk bersama sahabat saya. Perasaan saya menjadi tenang dan siap untuk belajar di sekolah.

Tahun baru pun berganti. Ternyata ujian pahit saya tidak selesai sampai di situ. Akibat saya terlalu percaya diri, saya melakukan hal yang tidak sopan dihadapan teman saya. Dan teman saya itulah yang menuliskan status dan men-tag nama saya disitu. Oooi, betapa luka batin saya yang telah kering, kambuh lagi!

Beberapa hari saya merasakan kepedihan itu. Setelah saya meminta maaf, teman-teman saya masih saya kurang menerima kejadian itu. Berkali-kali saya diancam akan melakukan hal yang sama jika saya tidak memberi sesuatu saat ujian berlangsung. Terbayang pedihnya hati saya di masa lalu. Tapi, saya harus menjalani hari dengan tabah, sampai tahun ajaran baru berakhir.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline