Lihat ke Halaman Asli

Nahariyha Dewiwiddie

TERVERIFIKASI

Penulis dan Pembelajar

Menjadikan Perpustakaan Pribadi sebagai 'Tanda Syukur' Kita

Diperbarui: 10 September 2016   10:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14301991242112955899

[caption id="attachment_413294" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Kompas.com"][/caption]

Masih segar dalam pikiran saya saat itu....

Waktu saya duduk di bangku SMA, saya dan teman-teman mendapatkan tugas untuk meresensi novel. Saya lebih memilih meresensi novel lain, sedangkan salah satu teman saya ingin meminjam buku novel Laskar Pelangi punya saya. Awalnya saya mengatakan hilang, namun sesampainya di rumah, ternyata buku tersebut diletakkan di gudang di dalam kotak kardus. Merasa bersalah, akhirnya saya meminta maaf pada teman saya dan meminjamkan buku novel tersebut kepada teman saya, meskipun ada beberapa halaman yang hilang, itu tidak menjadi masalah untuknya.

Setelah menempati rumah baru, saya sebenarnya ingin mempunyai perpustakaan kecil di rumah. Namun baru kesampaian saat peringatan Hari Buku Sedunia, 23 April lalu. Saya melihat buku-buku dan majalah yang dikumpulkan saat saya masih kecil sampai saat ini, lalu dikumpulkan dan ditempatkan jadi satu pada rak buku di meja belajar saya. Koleksinya cukup lumayan. Kebanyakan buku tersebut dibeli langsung di toko buku. Ada juga dibeli saat ada bazar buku di sekolah maupun di perpustakaan, dengan harga yang cukup murah. Hanya ada dua koleksi buku yang dipesan secara online pada situs gramediaonline.com, Hijabo Comic dan Kompasiana Etalase Warga Biasa, yang saat ini masih ditunggu kedatangannya ke rumah saya untuk dibaca.

Sedangkan majalah, kebanyakan merupakan hadiah dari pengajian, hanya satu majalah yang dibeli langsung di toko buku. Dahulu, saat saya masih SD, mama saya sering berlangganan majalah masak-masakan, bahkan kartu resep masakan pernah dikumpulkan dalam satu binder, namun sekarang majalah tersebut hilang entah kemana, karena tidak disimpan di satu tempat khusus.

Saya semakin sadar mengapa perpustakaan pribadi itu diperlukan di rumah. Saya langsung terbayang betapa buku-buku yang susah payah dibeli itu malah berakhir menjadi bungkusan makanan. Sedih. Mungkin penggunanya belum menyadari pentingnya membaca, sehingga menganggap bacaan itu 'sampah'. Padahal, dibalik bacaan, terdapat ilmunya, lho!

Karena itulah, keberadaan perpustakaan pribadi di rumah patutlah dijadikan sebagai 'tanda syukur' kita, mengapa demikian?

Pertama, karena kita mengalolasikan penghasilan kita untuk membeli sesuatu yang bermanfaat.

Jika kita dikaruniai harta yang cukup, biasanya diapakan untuk apa? Membeli makanan untuk jatah sebulan, jalan-jalan, dan hal-hal lainnya? Kalau dialokasikan lewat membeli buku, kan jauh lebih bermanfaat tuh, karena dimanfaatkan untuk membeli sesuatu yang berguna untuk kehidupan kita, misalnya, menambah pengetahuan sebagai bekal ke depannya.


 Kedua, sebagai investasi pengetahuan dan 'bernolstagia' untuk anak cucu.

Jika kita memiliki perpustakaan pribadi, otomatis tersimpan buku-buku yang dibeli dari tahun lalu, dan sekarang. Terlebih, buku yang dibeli sejak 90-an, 2000-an, zaman masih sekolah, dan sebagainya. Selain memperkaya khazanah pengetahuan di rumah, kita sambil bernolstagia ke masa lalu pada anak cucu kita. Misalnya buku biologi yang digunakan oleh anak zaman 90-an, yang dibawa oleh salah satu guru biologi di sekolah saya, beda dengan buku biologi KTSP punya saya, namun intinya, isinya sama. Hanya saja, pengetahuan akan terus berkembang seiring dengan perkembangan teknologi. Bahkan di rumah saya, ada Al-Qur'an terjemahan edisi pertama tahun 1970-an yang diberikan dari kakek saya, masih tersimpan dengan baik di rumah saya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline