Indonesia sebagai negara maritim dengan kekayaan alam yang melimpah, terus menghadapi tantangan dalam mempertahankan kedaulatannya di tengah gejolak politik global. Konflik Laut China Selatan menjadi salah satu isu geopolitik yang mendapat perhatian serius dunia, termasuk bagi Indonesia yang memiliki kedaulatan maritim di wilayah tersebut. Baru-baru ini, kancah internasional kembali dihebohkan oleh China yang mengubah peta Nine Dash Line menjadi Ten Dash Line. hal ini tentunya menghebohkan beberapa negara yang merasa dirugikan atas klaim dari China tersebut. Negara-negara Asia Tenggara terkejut ketika pemerintah China merilis peta terbarunya, Peta Standar China Edisi 2023, yang menunjukkan lebih banyak klaim tentang perairan Laut China Selatan (LCS).
Sebelumnya, area yang diklaim oleh China di perairan yang kaya akan sumber daya alam dibatasi oleh 9 garis putus-putus, yang sekarang menjadi 10 garis putus-putus. Dengan kata lain, sepuluh garis putus-putus berbentuk huruf U menunjukkan bahwa China tampaknya telah memperluas klaimnya atas wilayah geografis di LCS hingga sekitar 90%. Ten-Dash Line melintasi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Malaysia sejauh 1.500 km di selatan Pulau Hainan. Melewati Sabah dan Sarawak, lalu Brunei, Filipina, dan Vietnam, hingga mepet pada batas wilayah maritim Indonesia.
Garis putus-putus tersebut juga mencakup wilayah lain yang disengketakan, seperti klaim atas Taiwan dan dua wilayah di dekat perbatasan India di sepanjang Himalaya, Arunachal Pradesh dan Aksai Chin. Peta terbaru, yang disiarkan oleh media pemerintah China Global Times, menunjukkan pernyataan tambahan bahwa dataran tinggi Aksai Chin dan negara bagian Arunachal Pradesh di India adalah wilayah resmi China. Arunachal Pradesh, negara bagian di timur laut India, dianggap oleh China sebagai Tibet. lokasi ini merupakan lokasi kedua di mana kedua negara terlibat dalam perang perbatasan besar-besaran pada tahun 1962. Selain itu, Aksai Chin adalah koridor dataran tinggi penting yang menghubungkan Tibet ke bagian barat China. Selain itu, peta sepuluh garis putus-putus juga mengakui Taiwan sebagai bagian dari wilayah China, meskipun pulau tersebut menganggap dirinya sebagai negara berdaulat.
China mengklaim bahwa penarikan Ten Dash Line didasarkan pada peta historisnya, yang sebanding dengan peta China tahun 1948. Namun, negara-negara di kawasan tersebut menanggapi klaim sepihak China dengan keras. Karena itu, sepuluh garis putus-putus yang dibuat China melanggar peraturan internasional yaitu Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS). Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin menyatakan bahwa Beijing tidak memiliki keraguan tentang kedaulatan negara ketika mengeluarkan peta terbaru dengan sepuluh garis putus-putus. Wang mengatakan, "Posisi China dalam masalah Laut Cina Selatan selalu jelas. Otoritas Tiongkok secara teratur memperbarui dan merilis berbagai peta standar setiap tahun. Kami berharap pihak-pihak terkait dapat melihat hal ini secara objektif dan rasional".
Dengan pernyataan tersebut tentunya mengundang respon keberatan dari negara-negara yang terdampak atas klaim China dengan Ten Dash Line tersebut. Indonesia, Filipina, Malaysia, Taiwan, India, dan Vietnam menentang keberadaan jalur Beberapa negara bahkan telah mengirimkan protes/demonstrasi diplomatik ke Beijing. Pemerintah Indonesia mengatakan bahwa penarikan garis di suatu wilayah, terutama Peta Standar China 2023, harus sesuai dengan Hukum Internasional UNCLOS 1982.
Indonesia tidak memiliki klaim wilayah di Laut Cina Selatan, akan tetapi klaim wilayah Cina yang terkenal dengan sebutan Nine Dash Line yang sekarang menjadi Ten Dash Line beririsan dengan wilayah yurisdiksi Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara. Indonesia menegaskan bahwa tidak mengakui jalur garis putus-putus yang sering digunakan China sebagai alasan untuk mengklaim sebuah kepulauan di Laut China Selatan. Akibatnya, Indonesia menamai wilayah di sekitar Kabupaten Natuna sebagai Laut Natuna Utara.
Tindakan Cina di Laut Natuna Utara dengan masuknya kapal-kapal nelayan Cina ke Laut Natuna Utara untuk melakukan penangkapan ikan secara ilegal menempatkan kepentingan nasional Indonesia di bawah bahaya. ZEE Indonesia, yang merupakan hak berdaulat Indonesia sebagai negara pantai sesuai dengan hukum laut internasional, merupakan kekayaan potensial yang sangat penting untuk kemajuan ekonomi. Dari sudut pandang pertahanan dan keamanan, warga Indonesia yang tinggal di wilayah sekitar Laut Natuna Utara merasa tidak aman karena tindakan Cina, terutama karena ekosistem mata pencaharian mereka sebagai nelayan terganggu. Pada skala yang lebih besar, tindakan Cina merupakan pelanggaran kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia.
Kedaulatan Indonesia mencakup beberapa aspek
- Kedaulatan Teritorial, mencakup wilayah daratan, perairan, dan udara yang secara hukum menjadi bagian dari negara Indonesia. Kedaulatan teritorial Indonesia mencakup lebih dari 17 ribu pulau yang tersebar di Samudra Hindia dan Pasifik.
- Kedaulatan Politik, merujuk pada hak negara Indonesia untuk menetapkan sistem politik, pemerintahan, dan hukum yang berlaku di dalam wilayahnya. Ini termasuk proses pembuatan kebijakan, pengangkatan pejabat pemerintah, dan menjalankan lembaga-lembaga negara.
- Kedaulatan Ekonomi, mengacu pada kontrol atas sumber daya ekonomi negara, termasuk pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, perdagangan internasional, kebijakan ekonomi, dan pengaturan pasar dalam negeri.
Sedangkan Hak Berdaulat Indonesia mencakup
- Kedaulatan Maritim, merujuk pada hak Indonesia untuk mengatur dan mengendalikan wilayah perairan di sekitar kepulauannya. Termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), yang memberikan hak eksklusif untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di perairan yang terletak 200 mil laut dari garis pantai.
- Kedaulatan Teritorial Laut, merujuk pada klaim atas perairan tertentu di sekitar kepulauan Indonesia, termasuk perairan sekitar Kepulauan Natuna yang terletak di sebelah utara Laut China Selatan. Hak berdaulat Indonesia atas wilayah laut ini didasarkan pada prinsip-prinsip hukum internasional, termasuk Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Solusi untuk menjaga Kedaulatan dan Hak Berdaulat Indonesia Ditengah Ancaman Konflik Laut China Selatan
- Melakukan diplomasi aktif, Indonesia harus terus menggalang dukungan dari komunitas internasional untuk menekankan pentingnya penegakan hukum internasional dalam menyelesaikan perselisihan wilayah di Laut China Selatan. Melalui diplomasi aktif, Indonesia dapat memperjuangkan klaim wilayahnya dan membangun koalisi dengan negara-negara lain yang memiliki kepentingan serupa.
- Strengthening Maritime Security, Indonesia perlu meningkatkan kehadiran dan pengawasan maritim di wilayah yang disengketakan untuk melindungi kedaulatan dan hak berdaulatnya. Hal ini melibatkan peningkatan patroli kapal dan pesawat, serta peningkatan kerjasama dengan negara-negara tetangga dalam hal keamanan maritim. Baru-baru ini tiga kapal perang TNI AL (KRI Tjiptadi-381, KRI Sutedi Senaputra-378, serta KRI John Lie-358) dikerahkan untuk menjalani misi khusus sekaligus mengikuti operasi pelayaran dalam menjaga keamanan laut di Natuna Utara.
- Negotiasi dan Mediasi, Penting bagi Indonesia untuk tetap terbuka terhadap upaya negosiasi dan mediasi dalam menyelesaikan konflik Laut China Selatan secara damai. Melalui dialog yang konstruktif, solusi jangka panjang yang menguntungkan semua pihak dapat dicapai.
- Penguatan Kerjasama Regional, Indonesia harus memperkuat kerjasama regional dengan negara-negara ASEAN dan lainnya untuk menghadapi tantangan bersama di Laut China Selatan. Dengan bersatu, negara-negara di kawasan dapat memiliki suara yang lebih kuat dalam menegakkan kedaulatan dan hukum internasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H