Lihat ke Halaman Asli

Dewi Sekarsari

Universitas Singaperbangsa Karawang

Apakah Utang Negara Masih Wajar? Ancaman Kebangkrutan di Depan Mata

Diperbarui: 15 Desember 2024   17:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam beberapa tahun terakhir, tingkat utang negara di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, terus meningkat dengan dalih memulihkan ekonomi pasca-pandemi dan membiayai proyek-proyek strategis. Namun, pertanyaan besar muncul: sampai kapan utang ini masih dapat dianggap wajar? Beban bunga yang terus membengkak, ancaman default yang menghantui beberapa negara berkembang, serta ketergantungan pada pinjaman luar negeri semakin menimbulkan kekhawatiran tentang stabilitas ekonomi. Di tengah kondisi global yang tidak menentu, apakah utang negara justru menjadi solusi atau ancaman bagi masa depan perekonomian?

Tingkat utang negara yang terus meningkat menjadi isu panas dalam perekonomian global. Dalam kasus Indonesia, pertumbuhan utang yang signifikan pasca-pandemi telah memicu perdebatan tentang keberlanjutan kebijakan fiskal. Dengan total utang pemerintah yang mencapai Rp8.500 triliun per Oktober 2024, terdapat kekhawatiran bahwa beban ini dapat menjerumuskan negara ke dalam jebakan utang jika tidak dikelola dengan hati-hati.

Rasio utang terhadap PDB Indonesia yang mencapai 41% memang masih berada dalam batas aman yang ditetapkan Undang-Undang Keuangan Negara. Namun, tren kenaikan ini mengkhawatirkan, terutama jika dibandingkan dengan kapasitas fiskal pemerintah. Beban pembayaran bunga utang yang menyedot Rp430 triliun dari APBN 2024 mencerminkan tantangan besar dalam menjaga keseimbangan antara belanja produktif dan kewajiban fiskal.

Beban bunga utang yang terus meningkat menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan anggaran negara. Alokasi sebesar 14% dari total belanja negara untuk membayar bunga utang menunjukkan bahwa ruang fiskal semakin sempit. Dalam jangka panjang, tekanan ini dapat mengurangi kemampuan pemerintah untuk menginvestasikan dana dalam sektor-sektor strategis seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Pengalaman negara-negara lain memberikan gambaran yang mengkhawatirkan. Sri Lanka, misalnya, mengalami gagal bayar utang setelah rasio utangnya mencapai 120% dari PDB. Kasus ini menyoroti risiko yang dihadapi negara-negara berkembang dengan rasio utang tinggi, terutama jika pinjaman luar negeri mendominasi portofolio utang. Indonesia perlu belajar dari pengalaman ini untuk menghindari dampak serupa.

Pinjaman luar negeri yang mencapai 30% dari total utang pemerintah Indonesia menjadi perhatian. Ketergantungan pada pinjaman dalam valuta asing meningkatkan kerentanan terhadap volatilitas nilai tukar dan kebijakan moneter global. Depresiasi rupiah dapat secara signifikan meningkatkan beban pembayaran utang dalam denominasi dolar, yang pada gilirannya dapat memengaruhi stabilitas ekonomi.

Utang negara yang tinggi membebani anggaran pemerintah dan memiliki dampak jangka panjang terhadap perekonomian domestik. Bank Dunia mencatat bahwa negara-negara dengan beban utang besar cenderung mengurangi belanja sosial untuk memenuhi kewajiban utang mereka. Akibatnya, masyarakat yang seharusnya menikmati manfaat dari belanja negara justru menghadapi pengurangan layanan publik.

Dari perspektif pembangunan, utang negara yang digunakan secara efektif dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, efektivitas ini sangat bergantung pada alokasi dan manajemen utang. Jika utang lebih banyak digunakan untuk belanja konsumtif atau proyek-proyek yang kurang produktif, dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi akan minim. Sebaliknya, risiko fiskal yang dihadapi justru meningkat.

Pemerintah perlu memperkuat strategi pengelolaan utang agar tidak terjebak dalam spiral utang. Reformasi fiskal, termasuk optimalisasi penerimaan negara melalui perpajakan, menjadi langkah penting untuk mengurangi ketergantungan pada utang. Transparansi dalam penggunaan utang diperlukan untuk memastikan akuntabilitas dan efektivitas.

Kebijakan moneter global menjadi faktor eksternal yang perlu diantisipasi. Kebijakan kenaikan suku bunga oleh bank sentral negara maju, seperti Federal Reserve, dapat mempersulit akses pembiayaan internasional dan meningkatkan biaya utang bagi negara berkembang.

Namun, di tengah berbagai upaya dan tantangan yang ada, pertanyaan besar tetap menggantung: sejauh mana negara mampu menjaga keseimbangan ini tanpa terjebak dalam krisis? Dan apakah generasi mendatang akan menanggung beban yang lebih berat, atau justru menuai manfaat dari keputusan fiskal hari ini?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline