Lihat ke Halaman Asli

Dewi Rahma

Pluviophile

Sore dan Biru

Diperbarui: 13 Agustus 2020   18:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore dan secangkir kopi adalah obat yang benar-benar bisa melepas penat. Ditambah duduk berhadapan dengan teman bicara yang asyik, melengkapi rutinitas tiada bosan ini. Seperti hari ini, ketika dia tiba-tiba meminta temu. Entah karena apa. Yang jelas, kini aku sedang terlarut dalam kumpulan diksi dan obrolan tentang apa saja. T

entang politik, sosial, teman, pekerjaannya, bahkan hal kecil seperti bunga artifisial yang tidak sengaja ia temui di jalan tadi hingga pengandaian dalam Multiverse yang masih belum sepenuhnya aku percaya. Jingga segera menghitam, namun kopiku belum mau tandas. Aku terlarut dalam percakapan, hingga lupa bahwa aku harus pergi, menepati janji temu dengan orang lain. Aku terus mengabaikan pesan dari orang itu. Hati dan otak ku fokus pada satu suara, pada satu canda serta tawa dari laki-laki yang ada di hadapan ku kini. Sore ku nyaman bersamanya.

Ternyata bukan tanpa alasan ia meminta temu. Bukan pula perihal rindu. Ia hanya ingin pamit, pergi jauh. Tak ingin ku perlihatkan betapa aku patah hati, tak ingin pula aku terlihat senang dalam kondisi ini. Aku hanya menimpali dengan balasan-balasan lain atau topik-topik ringan yang bukan seputar kepergiannya. Andai hati ku terlihat, dia mungkin sudah bisa melihat kucuran darah menetes tak mau berhenti sejak tadi dia mengutarakan pergi. Ah, aku memang berlebihan. 

Sampai ketika ia mengeluarkan sepucuk undangan bertuliskan namanya dengan calon pendamping hidupnya berukir indah nan manis pada sampul berwana biru langit, dunia ku perlahan runtuh. Tapi maaf, gengsi ku tetap tinggi. Ku terima undangan itu dengan harapan bahwa ini hanya mimpi, dan ku ucapkan kata-kata terdusta yang pernah aku utarakan padanya "Selamat ya, semoga jodoh dan bahagia dunia akhirat". 

Hanya itu yang mampu gengsiku pertahankan selain air mata yang ingin segera terjun bebas. Betapa perih, mencintai seorang diri, terjebak dalam hubungan baik paling tinggi, hanya mampu mengagumi tanpa dicintai kembali.

Maaf, aku memang seperti ini. Perempuan cengeng yang kau kenal sejak masa nol kecil. Tumbuh dewasa dan mencintai sahabatnya sendiri. Akan ku lupakan segala sakit berlandaskan cinta sendiri ini. Doaku selalu yang terbaik untuk kebahagiaanmu. Lalu ku peluk dia dan ku rapalkan lagi doa bahagia setulus hatiku mampu mengucapkannya. Haru turut serta menyelimuti kami, dua insan yang tidak dipersatukan takdir dalam selembar undangan, tetapi dipersatukan takdir dalam masa pendewasaan. Selamat dan terima kasih, Biru, doaku selalu mengiringi langkahmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline