Lihat ke Halaman Asli

Pengalaman Pertama Banjir

Diperbarui: 13 Maret 2017   08:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banjir merupakan hal yang belum pernah aku alami sama sekali di Salatiga. Pada bulan pertama pernikahan aku pindah ke Rembang. Saat memasuki bulan ketiga di beberapa daerah di Rembang banjir, salah satunya adalah desa yang aku tempati. Awalnya aku panik dengan keadaan ini, karena baru pertama aku akan mengalami kebanjiran. Saat itu beberapa wilayah di Rembang hujan deras dan lebat, di desa yang aku tempati hanya gerimis, bahkan tidak hujan seperti tempat lain. Sebelum maghrib tiba, suamiku sudah mendapat whatsapp dan telpon dari teman-temannya yang desanya sudah terkena banjir. Setelah maghrib, suamiku mendapat telpon lagi dari temannya bahwa banjir sudah sampai ke desa B.

Suamiku sama sekali tidak khawatir tentang banjir yang kadang sering menghampiri karena dia adalah seorang Relawan bagian Korlap (Koordinasi Lapangan). suamiku langsung menghubungi teman-temannya untuk Siaga Satu. Semua berkumpul di rumahku untuk tanggap bencana banjir. Semua memakai kaos orange, memakai pelindung kepala (helm khusus) dan sepatu khusus di air. Karena, KRI (Komunitas Relawan Independen)  sudah terbiasa dengan keadaan tersebut. Semua anggota mengecek satu per satu daerah yang banjir sudah sampai ketinggian berapa. bukan hanya itu, ada beberapa jembatan yang dijaga untuk mengetahui air sudah naik seberapa. maklum, disini banyak sungai yang kadang bisa mengakibatkan banjir. Semua orang desa ada yang panik dan mengungsikan sapi mereka ke tempat yang lebih tinggi.

tidak hanya itu, beberapa orang sudah lalu lalang di depan rumah untuk melihat air sungai yang terus naik, dan naik. Maklumlah, jarak tiga meter dari rumah sudah sungai. Pada pukul 20.00 suamiku mengelilingi kampung yang lain untuk memberitahu pada penduduknya akan terjadi banjir. Aku bersama mertua ku menaikkan barang-barang yang masih dibawah. satu rumah ribut semua, aku menaikkan barang dagangan ku yang masih dibawah. menaikkan semua perabotan supaya tidak terendam banjir. Disaat orang rumah pada sibuk semua dan suamiku sedang melaksanakan evakuasi, aku sangat panik dengan keadaan itu. Pukul 22.00 aku masih berada di rumah, sesaat setelah itu suamiku pulang dan menyuruh ku untuk mengungsi di tempat saudaranya.

awalnya aku tidak mau karena aku kasihan pada mertuaku, jika aku tidak mengungsi suamiku akan kepikiran dan tidak fokus pada tanggung jawabnya. saat itu dilema dan panik sudah menjadi satu. tapi, aku berkata pada diriku sendiri, "seorang relawan, sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. kenapa harus takut?". Banjir datang pada pukul 00.00 sampai desa sini. seperti air dalam bak besar yang di tumpahkan  sekali, seperti itulah banjir yang datang tiba-tiba dan merendam desa air banjir juga masuk rumah sekitar 70cm. kamar ku sudah bagaikan lautan. drum-drum yang ada dibelakang sudah layaknya seperti ikan. semua terapung karena derasnya banjir yang datang. bukan hanya itu, rumahku semua seperti air yang akan mendidih mengeluarkan buih-buih. 

Di saat seperti itu, suamiku tidak ada dirumah, tetapi masih evakuasi banjir di beberapa desa sebelah bersama dengan teman-temannya. Inilah yang dinamakan Panggilan jiwa. itulah pengalaman pertama banjir. mau upload foto, file nya lebih dari 2MB

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline