Lihat ke Halaman Asli

Dewi Pagi

TERVERIFIKASI

Tuhan, Aku Benci Indera Keenamku...

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13909137691520883838

[caption id="attachment_292647" align="aligncenter" width="448" caption="sixth sense (foto dari www.6sense.com)"][/caption]

Jari jemariku memintal angin di pelataran senja yang sepi. Tak ku gubris dingin yang mencekat. Gerimis sepoi-sepoi sentuh pori-pori kulitku. Tubuhku terkungkung dalam musim penghujan yang begitu pekat. Teramat pekat.

Berjalan. Kedua tungkai kakiku perlahan berjalan. Hatiku yang diam. Ku paksa kaki ini menyusuri tanah berbatu. Punguti beberapa lembar daun kenangan yang telah mengering. Memandang langit. Kubiarkan wajahku tengadah pada awan berbungkus mendung. Senjaku berkabut.

Kini ku memapah hati. Singkap sebuah keinginan pada Sang Maha Pemberi. Atas lelah yang tak kunjung berhenti. Pada tanya yang tak kunjung terjawab. Tenggelam dalam kubang pengandaian. Berkhayal. Andai saja...

Yah, andai saja saat ini aku diberi sebuah permintaan yang akan langsung dikabulkan Tuhan. Kau mau tahu aku akan pinta apa pada Tuhan? Aku...Aku akan meminta agar Tuhan mengambil lagi sesuatu yang telah Dia titipkan untukku.

Benar. Aku tidak keliru. Bukan, bukan aku menyangkal ketetapan-Nya. Aku hanya jemu. Aku mau ada sesuatu yang berlalu. Aku mau sesuatu yang mengaku bernama indera ke-enam ini enyah dariku. Dari hidupku.

Ingin rasanya hidup normal. Namun nyatanya, ada satu lesatan panah takdir yang tak bisa ku hindari. Harus menjalani satu sisi yang berbeda. Di mana aku bisa merasakan ketika sesuatu yang akan terjadi di masa depan, sebagian besarnya bukanlah suatu misteri lagi bagiku.

Semuanya...semua berawal di satu waktu ketika aku bermimpi berada di sebuah dunia yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Kau tahu apa yang ku saksikan? Baiklah, akan kuceritakan di sini. Aku berjalan di sebuah jalan yang lurus. Baris pohon berjajar rapi di kanan kiriku dengan cabang-cabang yang bisa menyentuh langit dalam arti sebenarnya. Tinggi sekali. Aneh.

Masih dalam keanehan yang sama, pandanganku lalu terdampar pada elok lautan yang lebih indah dari lautan yang pernah ku lihat di dunia ini. Aku juga mampu pijakkan kakiku di atas sebuah telaga yang airnya jernih kehijauan seperti warna zamrud. Bayangkan saja, aku bisa berjalan di atas permukaan air! Rasanya tak terkatakan. Takjub! Pemandangan tak lazim yang banyak kutemui membuatku enggan beranjak pergi.

Tepat pukul tiga pagi, aku terbangun dengan peluh sekujur badan. Tiba-tiba ada sosok besar bersayap putih yang memelukku hingga sulit aku lepaskan. Aku berontak. Mahluk itu baru mau melepaskanku ketika tak berhenti aku sebut nama Tuhanku. Mahluk itu berselubung cahaya keemasan. Tak lama hilang setelah menembus langit-langit kamar.

Sejak itu, keanehan demi keanehan terjadi dalam hidupku. Aku bisa tiba-tiba berucap tentang masa depan seseorang. Aku mampu 'membaca' sesuatu bila teman-temanku sodorkan telapak tangannya, melalui foto atau nama. Bahkan beberapa orang meminta hari baik saat membuka usahanya untuk pertama kali. Gelar penasehat spiritual dari beberapa 'pasien' pun sempat bertahta untukku. Hei, cool! Kelihatan keren juga, gumamku saat itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline