Lihat ke Halaman Asli

Dewi Pagi

TERVERIFIKASI

Petang yang Telanjang

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1414761817203713243


Berjalan kedua tungkai kakiku. Ke arah senja yang tiba menggema. Bunyinya berdentang-dentang. Hei! Ada keriuhan irama jingga! Kudengar tak henti nadanya saling berkejaran.

Sejenak gaduh suara jiwa terdiam. Patuh ku tunggu serdadu malam. Jemput terang agar segera pulang. Habiskan kemerahan cahaya. Sebelum benar-benar tenggelam.

Bersama camar aku masih menepi…

Ruas-ruas langkahku kini menapaki remah putih berpasir. Mataku menyapu bayang tosca lautan tanpa batas di hadapanku. Pada legam karang, kutancapkan beribu-ribu pecahan rindu.

Ah, semestinya kau ada di sini bersamaku. Mengunyah sunset, biar lumat tak bersisa. Menyambut purnama, kelak kan berpijar sempurna. Menanti nyala bintang, kerlipnya serupa indah matamu.

Ah, seharusnya kau temani aku menepi. Menadah pinta, pada Dia Yang Maha Segala. Haturkan terima kasih, atas sebentuk cinta yang telah Dia titipkan di hatiku dan hatimu.

Kembali kutinggalkan jejak di ujung petang. Bersama hati yang telanjang. Tanpa seutas benang. Lepaskan geliat rasa yang terus saja membuncah. Seperti dalam arena perang tanpa kesudahan. Berkecamuk. Menanti satu jawaban terindah.

…lalu kubiarkan siluet petang tak berpakaian, hingga malam bergegas datang untuk menyelimutinya…

.
.
Kampung Hujan,  November ‘14
.

.

pic : www.naturepic.com

.

.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline