Lihat ke Halaman Asli

Ada Cinta di Jembatan Fly Over

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebagai seorang dancer, aku harus selalu tampil cantik supaya tetap memuaskan mata penggemar. Tori, pria feminin yang jadi andalanku dalam menjaga penampilan adalah hair dresser profesional sekaligus menangani make-up panggungku. Mulanya aku biasa saja melihat keramahan dan gayanya yang feminindalam melayani keperluanku. Tetapi lama-lama, kenapa ya ada rasa kangen dihatiku kalo tidak ketemu dia. Apakah ini yang dinamakan cinta...???

Malam itu Tori menjemputku setelah manggung di suatu festival. Angin dingin menyeruak saat motor kami memasuki jembatan fly over. Tiba-tiba Tori menghentikan motornya.

“Ada apa Ri...?” aku bertanya was-was. Takut ban motornya bocor karena malam sudah larut. Mana ada tambal ban yang masih buka di saat malam-malam begini. Tori menarik nafas berat padahal motornya tidak rusak. Ditatapnya wajahku dengan pandangan aneh.

“Kamu kelihatan sangat lelah Aimee,” dia mengusap lembut keringat yang ada di dahiku. Aku agak terkejut dengan sikapnya barusan.

“Sudahlah Ri, aku sudah biasa begini. Kalo aku leha-leha gimana caranya aku menghidupi ibu dan adikku?Meta sudah mau ujian akhir SMP. Aku tidak mau menyurutkan keinginannya menjadi dokter hanya karena tidak ada biaya. Cukuplah aku yang merasakan pahitnya hidup ini,

“Aimee...” Tori mengangkat daguku dan menatap mataku dalam-dalam.

“Terima kasih bingkisannya ya, kamu baik sekali...,”

Aku tersenyum. Minggu lalu setelah dapat honor menari, aku membelikan celana jeans yang diimpikan Tori sejak lama. Ternyata pemberianku itu sangat disukainya. Kemanapunpergi celana jeans itu selalu dipakainya, padahal Tori bisa membeli celana jeans yang lebih bagus dan mahal dibandingkan dengan pemberianku itu. Tapi syukurlah kalau Tori suka dengan hadiah yang merupakan ungkapan terima kasihku padanya.

“Oh ya, gimana hubunganmu dengan Bien?”

“Aku sudah lama bubar. Tolong jangan singgung masalah itu lagi ya..” jawabku dengan lesu.

“Lho...?”

“Aku nda tahan siksaannya Ri...,” suaraku tercekat di tenggorokan.

“Hah..?padahal tampangnya baik banget Aimee...”

“Itulah manusia, luarnya baik, dalamnya hiyyy...nih ole-ole dari Bien saat aku tidak mau melayani keinginannya bercumbu...” aku menunjukkan lebam biru di bahuku terkena pukulan cowok temperamental bernama Bien itu.

“OMG..pasti sakit sekali ya...” Tori menyeringai ngeri melihat lebam berwarna ungu itu.

“Iya lol...sakitnya kebangetan. Adaoww...” aku berteriak saat jemari Tori menyentuh lebam tersebut.

“Oh maaf, aku nda sengaja. Sekarang kamu kuantar pulang atau mau makan dulu?kutraktir makan di bakmi hokkian langgananku ya...”

“Thanks Ri, aku mau pulang istirahat. Sejak kemaren aku kurang tidur gara-gara sibuk manggung...” aku menepuk bahunya perlahan. Tori lalu menyalakan motor maticnya dan mengantarku pulang.

Beberapa hari berikutnya aku bertemu lagi dengan Tori. Saat itu aku sedang menunggu taksi setelah mentas di rumah Walikota. Kulihat motor Tori dari kejauhan berjalan menghampiriku. Aku kaget melihat kehadirannya yang tidak disangka-sangka.

“Oh Aimee..kukira kamu sudah balik. Mana Mbak Kana..?” tanya Tori sambil celingak-celinguk. Mbak Kana itu pimpinan sanggartariku.

“Sudah balik bareng anak-anak sanggar lainnya, mobil sewaannya nda muat karena tukang gendangnya ikut serta. Untung kamu datang, kepalaku pening menunggu taksi yang tak kunjung tiba...”

“Kuantar ya...” tawarnya dengan manis. Aku langsung mengiyakan dan duduk di sadel motornya. Kurapatkan wajahku di punggungnya menghindari tiupan angin malam. Walaupun Tori feminin dan berperilaku halus, dia tetaplah seorang lelaki. Dadanya bidang dan tubuhnya berisi seperti lelaki lain. Beda banget dengan mantan pacarku Bien yang bertubuh bongsor.

Sepanjang jalan kami hanya terdiam, dan tiba-tiba Tori menghentikan motor maticnya di pertengahan jembatan fly over seperti yang dilakukannya tempo hari. Kulihat ada beberapa pasangan sedang asyik bercumbu disitu.

“Heh..Ri, ngapain kita disini?mau jadi obat nyamuk orang pacaran ya..?” kulupakan sakit kepalaku melihat pasangan muda yang asyik masyuk di sekelilingku. Tori memarkir motornya dan membiarkan aku duduk di sadelnya. Dia memandangku lama sekali, tapi sumpah mati, ini bukan pandangan Tori yang biasa kukenal. Kuamati wajahnya dalam keremangan lampu jalan. Wajahnya tidak klimis seperti biasa tetapi kulihat sedikit kumis tipis dan jambang menghiasi wajahnya yang kecokelatan. Kuperhatikan penampilannya, astaga...kurasakan jantungku berdebar kencang sekali. Keringat dingin menjalari tanganku yang disentuhnya.

“Aimee... “

Penampilanmu hari ini beda banget. Ternyata celana jeans itu cocok ukurannya. Nda nyangka..,” aku berusaha mengalihkan pandangan matanya dari wajahku. Tori mengusap sayang wajahku dan mencium bibirku sekilas. Aku terpekik mundur, nyaris jatuh dari sadel motor karena kaget dengan perlakuan Tori barusan.

“Kau...kau...” aku mengusap bibirku dengan tisu. Kupandangi wajahnya, ada sedikit lipstikku menempel di bibir pria feminin itu. Keringat dingin mengucur dari keningku mendapat perlakuan seperti itu. Tori tersenyum kecil sambil mengusap bekas lipstikku yang menempel di bibirnya. Dia memandang mataku.

“Ya...aku gila karena cinta padamu Aimee...” jawab Tori dengan tandas.

“What...?” aku membatin. Kuusap bibirku yang baru diciumnya. Orang ini sudah gila barangkali.

“Aimee...aku mau jadi pacarmu, kalo bisa jadi suamimu sekalian...”

Mataku membelalak tambah lebar. Si feminin ini mau jadi pacarku?mimpi apa dia tadi malam?

“Pasti kamu kaget kan?sebenarnya sudah lama aku mau terus terang tentang perasaanku ini tapi aku tidak pernah menemukan momen yang tepat. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku tidak ingin kehilangan kamu...”

“Tori...ini terlalu cepat Sayang. Aku tidak siap mendengarnya...”

“Cepat atau lambat aku harus memberitahumu Aimee...”

Tori berdiri menerawang di pagar jembatan fly over. Matanya menatap kosong jalan dan kerlap-kerlip lampu yang ada dihadapannya. Aku turun dari sadel motor. Kupeluk pinggangnya dan kusandarkan kepalaku di punggung Tori, kutemukan rasa nyaman dan hangat dari situ. Pria feminin itu memegang erat tanganku.

“Sayangku...aku cinta padamu Aimee...”

“Kalo aku nda cinta, gimana dong?”

Kurasakan helaan nafas berat dari punggungnya.

“Terserah kamu, yang jelas aku sudah bilang dan merasa lega karenanya. Perkara diterima atau tidak itu semua tergantung padamu. Yang penting kamu sudah tahu perasaanku padamu,”

“Heh...pasrah amat jadi orang...”

Tori hanya diam, seakan menganggap angin lalu pernyataanku barusan.

Setelah hening yang cukup lama.

“Sebenarnya aku begini bukan karena mauku Aimee. Lima kakakku semuanya lelaki sementara Mamah ingin sekali punya anak perempuan. Mamah mengidap myoma saat mengandungku. Akhirnya aku lahir prematur dan sejak saat itu Mamah menjadikanku “anak perempuannya” walaupun aku terlahir sebagai lelaki sejati. Mamah mengajariku memasak, menjahit, menyulam dan mewariskan salon kecantikannya padaku. Satu permintaan Mamah yang kutolak dengan tegas, aku tidak mau operasi kelamin dan upgrade bagian tubuhku untuk memenuhi keinginannya menjadikanku perempuan yang seutuhnya. Aku lelaki normal Aimee. Aku juga ingin punya anak dan istri layaknya lelaki normal lainnya. Maukah kamu jadi istriku Aimee...?aku sebenarnya malu dengan masa laluku. Setelah kematian Mamah aku putuskan untuk mengubah hidupku. Memang sangat berat tapi itu harus kulakukan. Aku ingin menjalani kodratku sebagai seorang lelaki normal, punya istri dan anak-anak yang lucu. Bolehkah aku menikahi dirimu Aimee?”

“Duh Tuhan...” aku menggumam. Bingung mau jawab apa. Kuusap pelan punggung Tori.

Ingatanku menerawang kembali ke saat pertama aku berkenalan dengan Tori. Empat tahun bukan waktu yang singkat untukku. Selama ini Tori bekerja sangat profesional merawat penampilanku. Tori yang turun tangan meng-cream bath dan mengerjakan segalanya. Terkadang angan nakalku melambung jikalau kurasakan jemari Tori memijat lembut tengkuk dan pundakku saat cream bath. Aku merasa sangat dimanjakan walaupun aku tahu Tori bekerja secara profesional dan pelayanan sama baiknya diberikan untuk semua pelanggannya. Tetapi sikap manis Tori secara perlahan telah menumbuhkan perasaan sayang dalam diriku. Tori telah menjadikanku sebagai ikonnya. Bagaimana tidak, hasil make-up dan hair style made in Tori membuat namaku meroket diantara anak-anak sanggar tari. Banyak teman menyarankan aku pacaran saja dengan Tori karena kedekatan kami. Aku menjadi manekin semua ide Tori tentang keindahan seorang wanita. Kubiarkan Tori mengeksplore kemampuannya mengubah penampilanku, dan dia melakukannya tanpa paksaan. Sikap Tori sangat berlainan dengan pacarku Bien yang sering menyiksaku. Aku juga heran kenapa bisa jatuh cinta pada seorang Bien. Sebuah cinta yang buta dan tanpa pertimbangan logika.

Kutempelkan lagi wajahku ke punggung Tori, kurasakan tarikan nafas berat dari balik jaketnya. Tarikan nafas perasaan yang galau. Ingatanku berputar kembali ke hari-hari yang sudah berlalu. Memang ada yang aneh kulihat dalam penampilan Tori beberapa bulan terakhir. Tori mulai membiarkan kumis dan jambang tumbuh di wajahnya. Bulu-bulu tangan dan dadanya juga dibiarkan tumbuh. Malahan sekarang Tori kerajingan olah raga voli pantai sehingga kulitnya terlihat terbakar matahari. Sikapnya juga semakin manis saat melayaniku cream bath ataupun memassage tubuhku. Pijatan tangannya bagaikan setrum yang mejalari tubuhku serta mengisi batinku yang kosong. Akhirnya penampilannya yang lebih macho sering terbawa dalam mimpiku. Dalam hati aku tidak mau kehilangan Tori yang telah ikhlas memberikan segalanya untukku. Bayangkan, bertahun yang lalu aku hanya seorang anak perempuan dekil yang mengamen di lampu merah. Karena sering bermain di rumah singgah Mbak Kana, akhirnya perempuan muda itu melihat bakatku sebagai penari dan memasukkan diriku ke dalam sanggar tari binaannya. Selanjutnya aku dibawa Mbak Kana ke salon Tori untuk dipermak penampilanku menjadi lebih baik. Kebersamaanku dengan Tori terus terjalin. Dengan perawatan Tori yang sangat intensif dan dilakukan dengan sepenuh hati membuat penampilanku seperti saat ini. Haruskah kutinggalkan Tori dan semua pengorbanan yang telah dilakukannya untukku? kutanya batinku sendiri apakah aku siap menjadi pacar Tori?

Tori berbalik dan memegang pipiku dengan lembut.

“Aimee Sayang, maafkan aku ya. Aku hanya mengungkapkan apa yang aku rasakan selama ini padamu. Anggap saja tidak ada apa-apa di antara kita. Yuk kuantar kamu pulang...”

Aku menarik siku Tori sehingga langkahnya tertahan.

“Ada apa Sayang..?sudahlah kita pulang sekarang ya..,” Tori menjentik ujung hidungku dengan gemas. Aku tetap diam dan sikapku itu membuatnya penasaran.

“Aimee Sayangku...” bisiknya perlahan di telingaku. Tidak kupedulikan pandangan aneh dari pasangan muda yang ada di dekat kami saat itu. Kujentik ujung hidung Tori dan kuelus lembut bibirnya yang memerah dalam keremangan malam.

“Sudahlah Aimee...pulang yuk...” dengan gemas Tori mengangkatku ke atas sadel motornya lalu didudukkannya aku dengan manis disitu.

“Ri...coba ceritakan dongeng tentang Cinderella...”

“Dongeng Cinderella?itu dongeng akan kuceritakan kalo kamu lagi facial di salonku. Di tempat lain no...no...no...”

“Aku mau sekarang...”

“Putriku...nanti besok aku ceritain ya...Kita pulang sekarang karena mau hu...” kututup mulut Tori dengan tanganku sambil membelalak padanya.

“Aku mau dengar dongengnya sekarang...pokoknya kamu harus ceritain saat Pangeran bertemu kembali dengan Cinderella, itu lho saat sudah ketahuan siapa yang punya sepatu kaca. Aku paling suka di bagian itu. Kalo kamu nda cerita, aku nda mau pulang...” aku merajuk. Suaraku kusetel supaya terdengar sangat memelas. Tori menghela nafas panjang, mungkin kesal disuruh cerita dongeng malam-malam.

“Hmmm...saat Pangeran bertemu dengan Cinderella katanya Pangeran cintaaaaa banget dengan putri yang ditemuinya saat pesta kerajaan. Lalu Pangeran minta gadis yang kakinya cocok dengan sepatu kaca itu untuk jadi isterinya. Cerita selesai dan kita pulang se-ka-rang...”

Terdengar gelegar guntur tanda hujan akan turun diiringi kilatan petir. Orang-orang dengan pasangannya mulai meninggalkan jembatan fly over tersebut. Aku membisik pelan ke telinga Tori.

“Sekarang bagaimana dengan Pangeran Tori, apa masih menunggu jawaban pernyataan cintanya...?” tanyaku perlahan. Kulihat mata Tori menatap bola mataku, bingung.

“Apapun jawaban putri dambaannya itu Pangeran Tori tetap menyayanginya. Pangeran Tori percaya, jika memang takdir mereka pasti akan disatukan dalam ikatan suci...” jawab Tori dengan suara tercekat. Dipasangnya helm dan distarternya motor tersebut.

“Helloooo...sekarang Putri itu mau ikut dengan pangeran pujaannya menuju istana cinta...” aku mengetuk helm Tori dan berteriak di telinganya. Kudengar Tori mematikan mesin motor lalu berbalik memandangku. Matanya membelalak tidak percaya.

“Jadi...kamu mau menerima aku?”

Aku mengangguk. Cintaku yang lama mengendap bersemi kembali mendengar pernyataan cinta Tori. Saat kepastian itu datang aku tidak melepaskannya sekejap pun.

“Ahkamu pasti bercanda Aimee. Lupakan saja ceritaku barusan. Aku tidak mau dicintai hanya didasari oleh kasihan belaka. Jangan bohongi perasaanmu Aimee, aku tidak semacho Bien...”

“Jangan singgung Bien lagi...”

“Aimee...aku tidak percaya semua ini. Apa kamu juga cinta padaku?sejak kapan...?”

Aku mengangguk malu dan kututup mataku rapat-rapat. Ini cinta kedua di umurku yang ke sembilan belas tahun.

“Tapi kamu harus janji tidak akan mukulin aku ya...”

“Tentu Sayang. Kamulah manekinku, cintaku...mana mungkin aku memukul orang yang kusayangi. Tapi sejak kapan kamu mencintaiku?Ternyata jatuh cinta itu indah ya. Aku bahagia sekali malam ini...”

“Sekarang aku tanya, gimana dengan aku?apa aku masih dilayani secara profesional sebelum aku mentas?”

“Tentu Sayang...malah aku akan berikan yang terbaik hanya buatmu seorang. Percayalah Aimee, aku juga lelaki sejati dan aku janji tidak akan pernah menyakitimu seperti mantanmu, si Bien itu...”

“Gombal...”

“Ealah...kita buktikan saja nanti...Hayo kamu mau berapa anak dari aku...satu?dua? tiga...?”

“Ih genit, siapa yang mau pesan anak? aku mau pulang sekarang. Nanti cantikku luntur dibawa air hujanya Sayang...”

“Biar hujan atau panas, kamu selalu cantik untukku. Oke Putriku, pegang yang erat, kita meluncur ke TKP...” soraknya sebelum mendaratkan sebuah kecupan ringan di dahiku. Oalah...

keep spiritlah...*_^


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline