Lihat ke Halaman Asli

Dewi Nurbaiti (DNU)

TERVERIFIKASI

Entrepreneurship Lecturer

Acungan Pisau dan Tamparan di Akhir Ramadhan dari Ayah dan Ibu

Diperbarui: 18 Juli 2015   09:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Entah ini fenomena macam apa yang terjadi di penghujung bulan baik yakni bulan suci Ramadhan. Sebuah acungan pisau dan tamparan dari ayah dan ibu yang ditujukan kepada anaknya terjadi di depan mata saya. Tanpa bisa saya berbuat apa-apa, karena jelas saya bukan siapa-siapa dari mereka.

Sore itu (16/7) saya mengakhiri puasa Ramadhan tahun 2015 ini dengan berbuka puasa di sebuah resto yang baru pertama kali saya cicipi hidangannya, di sebuah mall yang sudah berkali-kali saya jajaki medannya.

Arah depan meja tempat saya dan suami duduk, terdapat meja bundar lainnya yang diduduki oleh seorang perempuan dan dua anak laki-laki sekitar usia 6 dan 4 tahun. Ya, masa anak-anak yang sedang aktif-aktifnya.

Saya perhatikan dari jauh, dua anak tersebut bermain bersama, bersenda gurau hingga kadang-kadang ada salah satu yang menangis karena tersakiti oleh yang lainnya. Misalnya tidak sengaja tersenggol kakinya hingga terjatuh, atau hanya sekedar berebut mainan yang berujung tangisan.

Sang ibu yang duduk diantara dua anak tersebut terlihat sudah pasrah dengan ulah keduanya. Anak-anak tersebut terus berlari mengitari meja, berdiri diatas bangku, berteriak untuk saling ejek dan terus berebut sendok garpu yang ada diatas meja.

Sang ibu tetap bergeming dan terus asyik dengan gadgetnya.

Kami masih menunggu adzan magrib berkumandang, maka masih cukup waktu untuk saya memperhatikan ke sekeliling termasuk mereka.

Saya perhatikan sesekali sang ibu membentak ke dua anaknya dengan maksud meminta mereka diam dan menyudahi pertikaian ala anak-anak. Namun namanya anak kecil, baru 5 detik saja menuruti apa kata ibunya, sudah mulai lagi pertengkarannya.

Teriakan sang ibu dan celotehan anak-anak itu terus terdengar hingga datang seorang laki-laki yang saya pikir ia adalah ayahnya.

Tak lama adzan maghrib berkumandang, lalu kami pun bergegas berbuka puasa.

Lagi-lagi saya amat tertarik untuk memperhatikan kejadian di meja seberang. Karena ramai suara anak-anak itu yang tak kunjung henti dan juga karena posisi duduk mereka yang jelas-jelas satu garis lurus dengan mata saya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline