Lihat ke Halaman Asli

Dewi Murniati

Mahasiswa Universitas Terbuka

Sedikit Kisah Tradisi Ruwahan

Diperbarui: 31 Maret 2023   13:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tradisi. Sumber ilustrasi: UNSPLASH

Ruwahan atau yang disebut juga dengan arwahan ialah sebutan untuk ziarah makam bagi orang Jawa yang dilakukan tepat di bulan sya'ban. Umumnya masyarakat melakukan kunjungan ke makam orang tua ataupun sanak saudara yang sudah terlebih dahulu wafat. Disana mereka melakukan pembersihan makam serta membacakan doa-doa untuk para ahli kubur tersebut. Lalu, bagaimana dengan perantau yang tidak dapat pulang ke kampung halaman dan melakukan ziarah makam secara lansung?

Sebagai perantau di Kalimantan, keluarga saya pun merasakan hal demikian. Adanya kendala biaya membuat kami rela tak mudik untuk beberapa tahun. Tiap tahun kami hanya bertukar kabar lewat video call, bahkan ketika kakek meninggal taka da satupun dari kami yang pulang. Sebagai gantinya orang tua saya hanya menggelar tahlilan sederhana untuk mendoakan almarhum kakek disana. 

Dahulu ibu sering membeli bunga ke pasar lengkap dengan kue khas untuk acara ruwahan ini, yakni kue apem. Membuat rendaman bunga dengan segelas air dan meletakkannya d sudut ruangan lengkap dengan kue apem, segelas kopi pekat, serta kertas bertuliskan nama-nama sanak saudara yang telah wafat dan sebuah lilin (sesajen/sesaji). Disitulah orang tua saya berdoa untuk keselamatan mereka di alam kubur.

Untuk beberapa tahun ini, kebiasaan tersebut sedikit saya ubah. Tak ada lagi bunga dan kue untuk sesaji. Saya dan keluarga kini hanya menggelar yasinan serempak seusai shalat Maghrib. Saya meminta keluarga saya untuk melakukan acara ruwahan secara aman, benar-benar untuk meperbanyak doa-doa keselamatan  saja untuk mereka yang telah wafat serta kami yang masih hidup. Disamping mubazir, pun posisi kami sangat jauh dari makam sanak saudara/para leluhur kami. Sehingga menyiapkan sesaji saya rasa tidak perlu.

Tindakan tersebut saya lakukan bukan semata-mata untuk mengubah tradisi. Melainkan untuk menghindari anggapan buruk, mengingat posisi kami yang tak sepulau dengan mereka (sanak saudara/para leluhur)saat ini. Disamping itu, kami tetap menghargai dan melaksanakan adanya tradisi ruwahan atau arwahan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline