Sedari kecil, orang tua selalu mengatakan bahwa saya adalah harapan mereka untuk bisa menjadi anak yang sukses, anak yang berguna, anak yang senantiasa menjadi kebanggaan orang tua, anak yang terbaik di seluruh dunia. Saya yakin, itu pasti harapan semua orang tua di muka bumi ini saat anaknya terlahir ke dunia ini. Syukurlah sejak sekolah dasar hingga tamat sekolah SMA saya selalu menjadi anak yang termasuk dibanggakan oleh orang tua teman-teman saya sewaktu kecil. Sebab selalu mendapat nilai bagus sampai bisa masuk di sebuah sekolah paling favorit di kota saya waktu itu. Saya telah termakan stigma, harus selalu menjadi yang terbaik diantara teman-teman saya kala itu.
Sampai pada satu masa ketika saya tamat SMA dan masuk ke salah satu perguruan tinggi yang memang berbeda dengan perguruan tinggi lain, berdasarkan keputusan saya, untuk pertama kalinya. Suatu hari ibu menghampiri saya, dan bertanya, "Kenapa kamu tidak memilih universitas seperti teman-temanmu? Apa di universitas yang kamu pilih bisa bikin sukses juga seperti PNS?" Seketika saya terpukul, apa sebuah kesalahan besar jika saya menggunakan keputusan saya sendiri? apakah saya harus menggunakan keputusan orang tua saya setiap waktu agas bisa sukses? Saya memilih universitas yang bisa membuat saya bekerja dan belajar dalam satu kali jalan. Saya tidak mau meberatkan tanggungan orang tua saya, lagi. Saya pikir, tidak seharusnya seperti ini. Bukankah anak memegang impiannya sendiri. orang tua seharusnya menjadi pembimbing bukan menjadi peta yang wajib diikuti untuk sampai pada sebuah cita-cita. Ada banyak cita-cita yang ditujukan kepada saya, sedang saya tak memiliki minat sedikitpun pada cita-cita yang mereka tawarkan.
Orang tua saya adalah tipe orang tua yang banyak melarang. Menghindari setiap kegiatan yang tak ada ilmu apalagi manfaat wajib menurut mereka. Selagi tugas itu bisa dilakukan di rumah sendiri, tak perlu keluar pintu. Bisa atau tidak, paham atau tidak, lakukan sendiri. Cukup mengerikan, tak ada tempat untuk menampung keluh kesah anak.
Tapi di balik itu semua, saya cukup menikmati kebersamaan yang saya rasakan bersama orang tua saya. Sedikit banyak saya yakin, tak ada orang tua yang ingin anaknya menerima derita yang orang tua rasakan di masa lalu. Hanya saja terkadang cara yang mereka perlihatkan kurang sesuai. Hal ini dapat membentuk karakter anak yang keras, tak percaya diri, tak pandai mengmbil keputusan, hingga depresi jika jatuh sekali saja. Sebab mereka tak punya pondasi jiwa yang begitu kuat.
Adapun sebagai anak kita tak bisa menghakimi hal tersebut. Satu-satunya cara untuk memutus pola asuh yang kurang tepat macam itu ialah mempersiapkan diri kita sematang mungkin, agar cara yang salah tak terulang kembali pada keturunan kita nanti. Adapun hal-hal yang dapat kita pelajari yakni,
- Yang paling utama, tanyakan pada diri sendiri, siap atau tidak untuk mengurus anak. Terkadang orang yang mempunyai anak tak mau tau perihal mengurus anak. Akibatnya banyak anak yang dibiarkan tanpa pengawasan, hingga hal buruk kerap menimpa anak.
- Belajar menjadi pendengar yang baik. Terkadang anak memiliki keluhan entah pada sekolahnya, hubungan pertemanannya atau masalah pribadi yang mungkin memerlukan solusi. Sekedar menanyaan tentang hari yang ia lalui seharian sudah cukup membangun kedekatan antara anak dan orang tua.
- Memberikan kepercayaan pada anak, hal ini dimaksudkan untuk membangun rasa tanggung jawab terhadap pesan orang tua. Pastikan juga bahwa anak mampu menjaga kepercayaan orang tua.
- Memberikan rasa pengertian pada anak, bahwa tak semua bisa didapatkan. Menanamkan rasa ikhlas dan sabar sedini mungkin dapat membuat anak tak arogan di masa tua nanti.
- Belajar untuk menenangkan diri ketika ada masalah dan tak cepat mengambil keputusan tanpa pikir panjang. Sebab ketika emosi memuncak, apapun bisa terjadi. Takutnya anak akan meniru hal buruk yang kita lakukan saat itu.
- Jangan membandingkan pencapaian anak dengan anak lainnya. Sebab rejeki orang berbeda-beda. Jika orang lain terlihat hebat dengan nilai matematikanya. Kita tak perlu mengharuskan anak pintar pula matematikanya. Beri dukungan pada bidang yang mereka sukai, tanpa membandingkan dengan orang lain. Dengan begitu, anak akan merasa didorong untuk terus maju tanpa harus terintimidasi.
Sudah hal lumrah bahwa sebagian besar orang dapat mempunyai anak. Tapi tak semua orang tau bagaimana cara menjadi orang tua yang baik untuk anak. Dengan segala persiapan yang harus dilakukan, yakin dan pasti bahwa menjadi orang tua bukan hal yang mudah. Tapi selagi bisa menjadi pengajaran yang lebih baik, kenapa tidak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H