Nama Ang San Mei tentu tak asing di ingatan pembaca Tetralogi Buru. Pram memberikan porsi yang cukup besar untuk menceritakan sepak terjang perempuan berdarah Cina ini pada buku ke-3. Ang San Mei, menurut Liu (2008), merupakan salah satu fantasi sekaligus manifestasi dari kekaguman Pram terhadap Republik Rakyat Cina (RRC).
Ang San Mei adalah sosok perempuan yang cantik, cerdas, dan mandiri. Ia juga adalah seorang nasionalis RRC yang militan dan progresif. Setidaknya itulah yang saya tangkap dari penggambaran yang diberikan oleh Pram. Dengan kualitas-kualitas tersebut, Ang San Mei berhasil memikat hati Minke dan lebih dari itu ikut membangkitkan semangat perlawanan di dalam diri Minke.
Yang menarik, sama seperti Minke yang tokohnya dikembangkan dari figur Tirto Adhi Soerjo serta imajinasi liar Pram, Ang San Mei juga bukanlah tokoh yang sepenuhnya fiktif. Tokoh Ang San Mei disebut-sebut dikembangkan dari figur Chen Xiaru, seorang perempuan berdarah Cina yang ditemui Pram dalam salah satu kunjungannya ke RRC (Liu, 2008).
Chen adalah seorang penerjemah sastra Indonesia yang tinggal di Beijing (Tempo, 6 Oktober 1998). Selama Pram berkunjung ke RRC, Chen banyak berkonsultasi mengenai penerjemahan sastra Indonesia. Dalam salah satu kunjungannya, Chen bahkan diutus untuk menerjemahkan pidato-pidato Pram selama berada di sana.
Pertemuan ini ternyata meninggalkan kesan yang begitu mendalam bagi Pram, keduanya bahkan dikabarkan sempat menjalin hubungan romantis (Liu, 2008). Kekaguman Pram terhadap Chen ini yang konon katanya dimanifestasikan dalam tokoh Ang San Mei.
Lebih dari sekadar urusan percintaan, Pram pada dasarnya memang begitu takjub dengan RRC sampai-sampai ia menjadikan RRC sebuah rujukan bagi pembangunan dan kesusastraan di Indonesia.
Perjalanan ke RRC pun tidak hanya memberikan Pram inspirasi untuk menulis, tetapi jauh lebih besar dari itu telah mengubah sikap dan cara pandang yang ia pegang sebagai seorang sastrawan.
Setelah kunjungan pertamanya ke RRC pada tahun 1956, Pram secara perlahan dan pasti berevolusi dari seorang penganut humanisme universal menjadi seorang penganut realisme sosialis.
Doktrin sastra realisme sosialis memegang teguh keyakinan bahwa seni harus mencerminkan realita sosial yang ada di masyarakat (Liu, 2008). Oleh karena itu, "Turun ke bawah," dan melebur bersama masyarakat adalah sebuah keniscayaan.
Terhitung sejak tahun 1959, Pram sudah benar-benar meninggalkan humanisme universal. Ia tak lagi segan mengusung keyakinan barunya bahwa seni harus digunakan untuk perbaikan kehidupan rakyat (Liu, 2008). Bagi Pram, realisme sosialis adalah sebuah alat perjuangan untuk melawan penindasan terhadap rakyat kecil (Tirto, 30 April 2018).
Perpindahan haluan ini membawa Pram pada Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di kemudian hari. Menurut Pram, Lekra pada hakikatnya lahir dari rahim realisme sosialis: Ia berdiri sebagai respon terhadap buruknya kondisi politik-kultural masyarakat Indonesia pada saat itu (Tirto, 30 April 2018). Sama seperti Pram, Lekra pun sangat dipengaruhi oleh doktrin-doktrin kebudayaan cina pada paruh pertama dekade 1960-an (Liu, 2008).