Lihat ke Halaman Asli

Pilkada dan Keberagaman yang Kita Punya

Diperbarui: 21 November 2024   15:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masjid yang beraksitektur Hindu / Gramedia

Tidak sampai seminggu lagi kita akan menghadapi Pemilihan Umum Daerah  (Pilkada). Sama halnya dengan pilpres, Pilkada kali ini gegap gempita ditengah hangatnya spekulasi politik nasional yang terjadi saat Pilpres lalu.

Fenomena politik Indonesia cukup menarik perhatian dunia. Mungkin masih ingat bagaimana Prabowo dan Joko Widodo bersaing memperebutkan kursi presiden dengan segala upaya. Prabowo kalah padahal saat 2014 timnya memakai strategi politik identitas yang membawa agama dalam setiap kampanyenya. Eskalasi politik identitas itu meningkat dan nyaris membelah bangsa pada Pilpres tahun 2019, dimana banyak orang bermusuhan hanya karena berbeda dalam memilih presiden. Sesama saudara menjadi bermusuhan, pertemanan menjadi retak karena beda pilihan, sampai suami istrtipun nyaris berpisah karena berbeda pilihan. Pada saat itu ujaran kebencian merajalela, baik di dunia maya mauopun di dunia nyata.

Namun situasi berubah karena akhirnya Joko Widodo mengajak Prabowo yang merupakan rivalnya untuk masuk dalam kabinet dan menjadi Menteri Pertahanan. Tak sampai di situ saja, Prabowo juga diberi pangkat Jenderal penuh meski sebelumnya diberhentikan dari korps TNI karena suatu kasus. Lalu Joko Widodo sendiri membantu Prabowo untuk menjadi Presiden ke 8 dan pergantian Presiden berlangsung dengan sangat baik.

Tidak ada kebencian yang abadi dalam politik, begitu kurang lebih pesan moral yang diperlihatkan oleh para elit kita. Seperti menegaskan bahwa perbedaan pendapat memang sah adanya dan hal itu tidak harus menjadi alasan untuk terus menerus saling membenci dan bermusuhan.

Perbedaan di negara kita adalah hal yang wajar. Kita hidup dan dibesarkan di negara yang sangat beragam, dimana keberagaman juga bukan alasan untuk saling memusuhi. Orang Sumatera tidak merasa lebih tinggi dari orang Papua, orang Jawa juga tidak merasa lebih tinggi dibanding orang Kalimantan, meski kemajuan di Jawa lebih banyak ditemui dibanding Kalimantan. Begitu juga mayoritas yang berkeyakinan (beragama). Meski Muslim adalah terbesar di Indonesia, kita juga mengenal dan mengakui agama Kristen, Budha, Hindu, Kong Hu Chu bahkan aliran kepercayaan yang memang sudah ada sebelum agama dari negara lain masuk ke Nusantara.

Situasi ini sebenarnya membuat kita terbiasa untuk selalu mengupayakan harmonisasi agar kehidupan di sekitar kita berjalan dengan baik. Kita tidak mungkin menghindari melewati gereja saat melintas di kota, misalnya. Atau kita berhak memilih tetangga dengan keyakinan yang sama misalnya, meski akhir-akhir ini ideologi transnasional sering mempengaruhi masyarakat dan membuatnya intoleran.

Namun kita harus sadar bahwa Tuhan membuat perbedaan, umat manusia yang merawatnya. Mengupayakan persatuan adalah bentuk tanggung jawab sosial untuk menghormati kehendak Tuhan berupa keberagaman itu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline