Seorang tokoh pendidikan terkemuka di Indonesia, pernah mengemukakan kegelisahan soal pendidikan pada zaman kini. Kegelisahan itu bermuara pada banyaknya faham transnasional yang diselipkan dalam bahan-bahan ajar di sekolah. Konsep-konsep pemurnian agama yang cenderung konservatif ada pada ajaran lisan yang dikemukakan oleh guru.
Hal itu diperparah dengan kelompok-kelompok kajian tertentu yang diikuti oleh para guru pengajar agama di sekolah-sekolah agama bahkan sekolah negeri. Kelompok-kelompok kajian ini yang sangat berpengaruh pada bergesernya konsep-konsep keagamaan yang awalnya moderat menjadi cenderung konservatif bahkan radikal. Lalu inilah yang mempengaruhi seorang guru menyelipkan faham-faham tertentu pada saat lisan pengajaran mereka.
Bahkan ada yang lebih jauh adalah menyelipkannya pada buku-buku bacaan, bahkan soal-soal ujian. Kita mendapati ini di beberapa kasus yang diangkat oleh media massa, tentang soal-soal ujian yang memakai kata kafir atau kata yang mengandung makna intoleransi.
Di masyarakat, kasus-kasus intoleransi banyak terjadi. Sebut saja peristiwa di Tangerang Selatan, ketika sejumlah mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (Unpam) sedang berdoa Rosario , namun dibubarkan paksa oleh seorang oknum RT setempat. Pembunaran itu disertai oleh luka-luka sayatan pada dua orang wanita pendoa.
Kaus terakhir yang terjadi di masyarkat adalah seorang wanita yang belakanga diketahui sebagai pejabat sebuah dinas di kota Bekasi melakukan intoleransi secara verbal, meski kantornya tidak mengatakan hal itu sebagai intoleransi. Namun dia sempat memainta maaf.
Rentang pendidikan usia dini, pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi menuju ke kehidupan nyata di masyarkaat, memang memerlukan rentang yang panjang. Persoalannya adalah jika faham transnasional yang kental dengan hal yang kinservatif dan cenderung intoleran, itu akan berproses sedemikian rupa sehingga bisa "matang" saat seseorang terjun ke masyarakat. Kita bisa melihat hal ini pada pelaku bom Surabaya dimana seorang kepala keluarga menjadi penggerak dan inisiator bagi keluarganya untuk melakukan bom bunuh diri dengan meledakkan tiga gereja sekaligus pada saat bersamaan. Beberapa puluh tahun sebelumnya, sang kepala keluarga diketahui aktif dan diisinyalir mendapat pengaruh intoleran pada saat mengikuti ekstrakulikuler di universitas tempat dia menimba ilmu.
Karena itu, memang saat ini sangat diperlukan pendidikan inklusif, dimana kesadaran bahwa bangsa kita adalah beragam dan diperkuat dengan filsafat Pancasila, tumbuh sejak muda. Dengan demikian kesadaran itu dipupuk dan menajdi kuat saat dia terjun ke masyarakat. Bagaimanapun kita harus sadar bahwa pendidikan inklusif adalah simbol Bhineka Tunggal Ika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H