Lihat ke Halaman Asli

Politik dan Semangat Ukhuwah

Diperbarui: 18 September 2021   09:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dw.com

 

Kita masih berada di tahun 2021; satu diantara dua tahun yang sangat sulit karena pandemi Covid-19. Banyak diantara kita yang harus jatuh bangun dalam kehidupan agar selalu sehat dan membesarkan anak-anak mereka.

Tahun 2021 artinya tiga tahun lagi kita menhadapi Pemilu 2024 dan beberapa pemilu daerah yang digelar tahun itu. Memang masih jauh dan keterlaluan jika dipikirkan mulai sekarang (karena bangsa kita masih harus berjuang melawan Covid-19), namun kita bisa menemukan banyak pihak yang sudah memperdengarkan riak pesta demokrasi di berbagai platmofm media; dia spanduk, di baliho maupun media sosial.

Kita mungkin ingat kisah dan cerita Pemilu tahun 2014 dan 2019, juga beberapa Pilkada seperti Pilkada Jakarta tahun 2017 yang begitu riuh dan menjadi catatan kita bersama sepanjang demokrasi kita. Karena saat Pemilu 2014 dan 2019 serta Pilkada Jakarta 2017 adalah pesta demokrasi yang sangat membuat bangsa kita terbelah. Keterbelahan itu masih terasa sampai sekarang dimana di media sosial masih ada sebutan kadrun dan kampret yang menjadi sebutan bagi pemilih dua kandidat yang menjadi kontestan Pemilu dan Pilkada.

Muncul peranyaan; bukannya keterbelahan (keterpecahan ) masyarakat sangat biasa terjadi di dunia ini? Jawabannya : memang ya. Beberapa bangsa di dunia menjadi terbelah bahkan terpecah karena persoalan etnis maupun politik. Kita melihat ada Yugoslavia yang pecah belah; ada Soviet yang terpecah belah juga; keduanya karena etnis. Namun yang layakkita cernati pada masa-masa ini adalah keterbelahan warga Amerika Serikat karena massifnya kampaye presiden yang rasis dan cenderung memecah belah. Komikus Mirco Tomicek menggambarkan Pemilu AS 2020 lalu sebai resleting yang macet; resleting yang berusaha menyatukan keterbehan bangsa yang pro parta A dan pro partai B. Tomicek menggambarkan bahwa Pemili AS lalu itu membuat AS terbelah menjadi dua; negara yang terpolarisasi dan politik yang memecah belah keluarga. Dia juga menggambarkan kondisi itu menjauhkan negara dan bangsa itu dari kedamaian.

Bagaimana dengan bangsa Indonesia ?

Ya, seperti cerita di atas kita memang seakan mudah terpecah belah karena politik; keluarga yang berbeda pilihan kandidat, rekan kerja atau sahabat yang berbeda kecenderungan partai, atau kita sangat terpengaruh dengan narasi-narasi di media sosial yang sangat memecah kita.

Tapi kita punya Pancasila dan semangat Ukhuwah di agama kita, Islam. Ukhuwah yang diajarkan agama tidak saja ukhuwah Islamiyah, tapi juga ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basariah, yaitu persaudaraan intra pemeluk agama Islam, persaudaraan sebagai sesama warga negara (bangsa Indonesia) dan persaudaraan sebagai umat dunia.

Keyakinan atas tiga ukhuwah itu tidak akan membuat kita terpecah belah hanya karena perbedaan politik. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline