Malam ini bintang gemintang berkelip genit di angkasa, kelipnya serupa kerlingan menggoda seorang kekasih pada sang pujaan hati. Bulan sabit hanya tersenyum menyaksikannya, tak ingin merusak suasana mesra yang tercipta di antara mereka.
Di atas atap rumah, seorang pria berjaket gelap asyik menikmati pemandangan di depan matanya. Seorang wanita bergaun sutra putih duduk terdiam bertopang dagu. Sesekali tangannya mengibaskan poni rambutnya yang tertiup semilir bayu. Dari sudut matanya nampak butiran kristal yang enggan beralih.
Sang pria mendekati sang wanita dan memeluknya dari belakang. Setelah menghela nafas panjang, ia berbisik di telinga, "Fe... Menangis lagi ya ?"
Fe terkejut sesaat, lamunannya buyar seketika dan dipaksakannya menyungging senyum menikmati peluk hangat kehadiran sang pria,"Baru selesai acaranya, El ? Maaf kau buka pintu pagar sendiri, aku tak mendengar kedatanganmu tadi."
"Gak papa, Fe." jawab El sambil melepaskan rangkulan tangannya dan duduk di kursi sebelah Fe ," Inget papa lagi ya, Fe ?"
Fe mengangguk ," Kau selalu tau yang mengusik anganku, El,"
El meraih kepala Fe dan merebahkannya di pundaknya, "Jangan tahan tangismu, Fe. Keluarkan jika bisa membuat bebanmu lebih ringan."
"Aku tadi sore melawat seorang teman. Ayahnya baru saja meninggal siang ini. Sepertinya terkena serangan jantung, wong pagi tadi masih sempat main tenis lapangan, tau-tau beliau jatuh seperti kesakitan sambil memegang dadanya," Fe memulai ceritanya.
"Hemmm... Lalu ?"
"Ya, sama teman-temannya langsung dilarikan ke Rumah Sakit. Tapi... gak tertolong, El,"