Lihat ke Halaman Asli

Manusia-manusia 10 April (2)

Diperbarui: 13 April 2019   06:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Illustrasi : pixabay.com

Aku mendapatkan postingan tentang Kereta Kehidupan itu tepat sehari sebelum meninggalnya pak Rusmadi, seorang teman Puskesmas yang telah pergi mendahului kami sebulan yang lalu. Setelah melewatkan tiga hari sisa hidupnya untuk berjalan-jalan bersama ke Dieng, Malioboro dan sekitarnya.

Pak Rusmadi adalah bapak dari dua orang anak, yang sudah berkeluarga keduanya, bahkan sudah memiliki cucu. Namun demikian kasih sayangnya pada sang istri tak memudar oleh usia. Keromantisan mereka berdua tak sengaja terekam dalam ingatanku.

Sabtu pagi itu, udara terasa dingin menusuk tulang, ketika kami sampai di sebuah resort, tempat transit sebelum rombongan karyawan dan keluarga Puskesmas  berangkat menuju Dieng.
Sambil bergiliran mengantri di toilet, aku mengawasi anak-anak yang asyik bermain di dekat kolam. Beberapa teman bergerombol di ruangan dalam yang lebih hangat udaranya sambil tetap merapatkan jaketnya. Aku mencium aroma kopi dari sana. Dan itu sungguh tawaran yang menggoda, yang menuntun langkah kakiku ke sana.

Ruangan dalam yang terisi beberapa kursi dan sofa memang tak mampu menampung kami berlima puluh tujuh orang. Mungkin kapasitasnya hanya sepertiganya saja. Tapi memang aku tidak sedang menvari kursi, jadi... no problem-lah.

Aroma kopi menuntunku ke meja di pojok ruangan yang sudah nampak berserakan dengan cangkir sisa kopi teman-teman. Masih ada satu dua cangkir bersih yang tersisa, tetapi ketika teko kuangkat... Zonk !!!
Aku tertawa dalam hati, "Untunglah, aku tak terlalu maniak dengan kopi".

Dan saat membalikkan badan itulah, pandanganku terhenti sesaat pada sepasang sejoli yang sedang menikmati secangkir kopi berdua. Sang wanita duduk melipat tangan di kursi, sambil menyandarkan kepalanya di pinggang sang pria yang berdiri di sebelahnya. Sedangkan sang pria memeluk bahu sang wanita dengan tangan kanannya, sambil meniup perlahan-lahan isi cangkir yang dibawa dengan tangan kirinya. Sebelum akhirnya menyerahkan cangkir kopi itu pada sang wanita untuk diminum. Lady first... ! Yesss... !!!

"Monggo bu, ngopi dulu...," sapa pak Rusmadi, pria paruh baya berkacamata itu, saat aku menganggukkan kepala sembari tersenyum saat melewati mereka berdua.

"Inggih. Matur nuwun. Sekecakaken lho..." (Iya. Terima kasih. Silakan dinikmati kopinya lho...) jawabku sambil berlalu. Namun masih sempat tertangkap ekor mataku ketika pak Rusmadi menerima cangkir kopi dari istrinya dan meneguk sisa isinya.
(Ahh... jadi ingat kisah mas Zaldy dengan kopi buatan Nik yang diminum bersama-sama di teras kost-kost an... hehehe).

Dan begitulah, pak Rusmadi, salah seorang teman seperjalanan dalam kereta kehidupan ini, telah memberikan kenangan indah buatku, yang baru mengenalnya setahun terakhir ini, sejak mutasi tugasku di tempat yang baru.

Dan berbicara tentang teman seperjalanan  dalam kereta kehidupan, baru kusadari ada beberapa di antara mereka yang memiliki persamaan, meski tentu saja lebih didominasi perbedaan-perbedaan yang ada. Karena pada hakekatnya setiap pribadi adalah unik dan menarik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline