Salah Memilih
Waktu itu, hasrat ingin mempunyai menantu di benak Asih begitu menggebu-gebu. Sebenarnya Asih tak banyak memilih. Asalkan anak perempuan itu baik dan menyayangi Indra---putranya, cukuplah baginya. Pucuk dicinta, ulam pun tiba.
"Ayah, Ibu ini Mahira. Insyaallah calon istri saya."
Gadis bermata sedikit sipit dan berkulit kecoklatan itu mengambil tangan Asih untuk diciumnya. Asih terpana. Perempuan berusia 45 tahun itu langsung berkhayal jika nanti Indra dan Mahira menikah. Karenanya tak menunggu waktu lama, Asih pun melamar perempuan muda itu untuk anaknya.
"Ibu senang kalian sudah menikah. Rumah Ibu pasti akan bertambah ramai," ujar Asih dengan mata berbinar.
Indra dan Mahira saling berpandangan. Asih melihat ada raut yang berbeda yang tiba-tiba hadir di wajah cantik Mahira.
"Maaf Bu. Sepertinya aku harus tinggal di rumah Mahira. Karena memang tradisi keluarganya seperti itu. Mereka tetap berkumpul walaupun sudah menikah. Kan rumah orangtuanya besar."
Perkataan Indra bagai petir. Hati Asih tersentak.
"Tapi Nak, rumah kita juga besar. Kamu anak Ibu satu-satunya. Kamu tega meninggalkan Ibu?"
Dengan suara parau Asih mengutarakan keinginannya. Maman---sang suami, membuang napas dengan kasar. Dia melihat raut kesedihan pada wajah istrinya.
"Maafkan kami, Bu sepertinya tak bisa," ucap Indra lagi.